Bandar Joker123 Terpercaya - Cerita Nyata Di Perkosa Ayah Tiriku
Bandar Joker123 Terpercaya - Cerita Nyata Di Perkosa Ayah Tiriku - Ayahku sudah sekitar 3 tahun meninggal dunia, meninggalkan ibu dan
anak-anak, aku dan adikku Reno yang masih kecil. Kini Reno sudah duduk
di kelas 6 SD sedang aku sudah tamat SMU, mulai kuliah di Akademi
Pariwisata dan Perhotelan. Meski mendapat dana pensiun tetapi amat kecil
jumlahnya.
Bandar Joker123 Terpercaya - Maklum, ayahku hanya pegawai kecil di Pemda KMS. Untuk
menyambung hidup dan membiayai sekolahku dan Reno, ibuku terpaksa
membuka toko jamu di samping rumah. Lumayan, sebab selain jualan jamu
ibu juga menjual rokok, permen, alat-alat tulis, pakaian anak-anak dan
sebagainya. Tentu saja, aku membantu ibu dengan sekuat tenaga. Siapa
lagi yang bisa membantu beliau selain aku?
Reno masih terlalu kecil untuk bisa membantu dan mengerti tentang
kesulitan hidup. Meski usia ibu sudah berkepala empat tetapi masih
cantik dan bentuk tubuhnya masih bahenol dan menarik. Maklum ibu memang
suka memelihara tubuhnya dengan jamu Jawa. Selain itu, sejak muda ibu
memang cantik. Ibuku blasteran, ayahnya belanda dan Ibu Sunda. Ayahku
sendiri dari suku Ambon tetapi kelahiran Banyumas. Ia lebih Jawa
ketimbang Ambon, meski namanya Ambon. Selama hidup sampai meninggal ayah
bahkan belum pernah melihat Ambon.
Ayah meninggal karena
kecelakaan bus ketika bertugas di Jakarta. Bus yang ditumpanginya ngebut
dan nabrak truk tangki yang memuat bahan bakar bensin. Truk dan bus
sama-sama terbakar dan tak ada seorang penumpang pun yang selamat
termasuk ayahku.
Sejak itu, ibuku menjanda sampai tiga tahun
lamanya. Baru setahun yang lalu diam-diam ibu pacaran dengan duda tanpa
anak, teman sekantor ayahku dulu. Namanya Suherman, usianya sama dengan
ibuku, 42 tahun. Sebenarnya aku sudah curiga, sebab Pak Herman (aku
memanggil-nya “Pak” karena teman ayahku) yang rumahnya jauh sering
datang minum jamu dan ngobrol dengan ibuku. Lama-lama mereka jadi akrab
dan lebih banyak ngobrolnya dari pada minum jamu. Kecurigaanku terbukti
ketika pada suatu hari. ibu memanggilku dan diajaknya bicara secara
khusus.
“Begini Cyn”, kata ibu waktu itu.
“Ayahmu kan sudah tiga tahun meninggalkan kita, sehingga ibu sudah cukup lama menjanda.”
Aku
langsung bisa menebak apa yang akan dikatakan ibu selanjutnya. Aku
sudah cukup dewasa untuk mengetahui betapa sepinya ibu ditinggal ayah.
Ibu masih muda dan cantik, tentunya ia butuh seseorang untuk
mendampinginya, melanjutkan kehidupan. Aku sadar sebab aku juga wanita
meski belum pernah menikah.
“Ibu tak bisa terus menerus hidup
sendiri. Ibu butuh seseorang untuk mendampingi ibu dan merawat kalian
berdua, kamu dan adikmu masih butuh perlindungan, masih butuh kasih
sayang dan tentu saja butuh biaya untuk melanjutkan studi, kalian demi
ibu sudi menikah kembali dengan Pak Herman dengan harapan masa depan
kalian lebih terjamin.
Kamu mengerti?” begitu kata ibu.
“Ibu mau menikah dengan Pak Herman?” aku langsung saja memotongnya.
“Tidak apa-apa kok Bu, Pak Herman kan orang baik, duda lagi. Apalagi dia kan bekas teman ayah dulu!”.
“Rupanya kamu sudah cukup dewasa untuk bisa membaca segala sesuatu yang terjadi sekelilingmu, Cyn”, ibu tersenyum. “Kamu benar-benar mirip ayahmu.”
Tak berapa lama kemudian ibu menikah dengan Pak Herman
dengan sangat sederhana dan hanya dihadiri oleh kerabat dekat. Sesudah
itu ibu diboyong ke rumah Pak Herman, dan rumah kami, kios dan segala
isinya menjadi tanggung jawabku. Ibu datang pagi hari setelah kios aku
buka dan pulang sore hari dijemput Pak Herman sepulangnya dari kantor.
Kehidupan
kami bahagia dan biasa-biasa saja sampai pada suatu hari, sekitar empat
bulan setelah ibu menikah, suatu tragedi di rumah tangga terjadi tanpa
setahu ibuku. Aku memang sengaja diam dan tidak membicarakan peristiwa
itu kepada ibuku, aku tidak ingin melukai perasaannya. Aku terlalu
sayang pada ibu dan biarlah kutanggung sendiri.
Kejadian itu
bermula ketika aku sedang berada di rumah ibuku (rumah Pak Herman)
mengambil beberapa barang dagangan atas suruhan ibu. Hal tersebut biasa
kulakukan apabila aku sedang tidak kuliah. Bahkan aku juga sering tidur
di rumah ibuku bersama adik. Tak jarang sehari penuh aku berada di rumah
ibu saat ibu berada di rumah kami menjaga kios jamu.
Kadangkala
aku memang butuh ketenangan belajar ketika sedang menghadapi ujian
semester. Rumah ibu Sepi di siang hari sebab Pak Herman bekerja dan ibu
menjaga kios, sementara di rumah itu tidak ada pembantu. Siang itu ibu
menyuruhku mengambil beberapa barang di rumah Pak Herman karena
persediaan di kios habis. Ibu memberiku kunci agar aku bisa masuk rumah
dengan leluasa. Tetapi ketika aku datang ternyata rumah tidak dikunci
sebab Pak Herman ada di rumah. Aku sedikit heran, kenapa Pak Herman
pulang kantor begitu awal, apakah sakit?
“Lho, Bapak kok sudah pulang?” tanyaku dengan sedikit heran. “Sakit ya Pak?”.
“Ah tidak”, jawab Pak Herman.” Ada beberapa surat ketinggalan. kamu sendiri kenapa kemari? Disuruh ibumu ya?”.
“Iya Pak, ambil beberapa barang dagangan”, jawabku biasa-biasa saja. Seperti biasa aku terus saja nyelonong masuk ke ruang dalam untuk mengambil barang yang kuperlukan.
Tak kusangka, Pak Herman
mengikutiku dari belakang. Ketika aku sudah mengambil barang dan hendak
berbalik, Pak Herman berdiri begitu dekat dengan diriku sehingga hampir
saja kami bertubrukan. Aku kaget dan lebih kaget lagi ketika tiba-tiba
Pak Herman memeluk pinggangku. Belum sempat aku protes, Pak Herman sudah
mencium bibirku, dengan lekatnya.
Barang dagangan terjatuh dari
tanganku ketika aku berusaha mendorong tubuh Pak Herman agar melepaskan
tubuhku yang dipeluknya erat sekali. Tetapi ternyata Pak Herman sudah
kerasukan setan jahanam. Ia sama sekali tak menghiraukan doronganku dan
bahkan semakin mempererat pelukannya. Aku tak berhasil melepaskan diri.
Pak Herman menekan tubuhku dengan tubuhnya yang besar dan berat. Aku mau
berteriak tetapi tiba-tiba tangan kanan Pak Herman menutup mulutku.
“Kalau kamu berteriak, semua tetangga akan berdatangan dan ibumu akan sangat malu”, katanya dengan suara serak.
Nafasnya terengah-engah menahan nafsu. “Berteriaklah agar kita semua malu!”
“Kalau kamu berteriak, semua tetangga akan berdatangan dan ibumu akan sangat malu”, katanya dengan suara serak.
Nafasnya terengah-engah menahan nafsu. “Berteriaklah agar kita semua malu!”
Aku
jadi ketakutan dan tak berani berteriak. Rasa takut dan kasihan kepada
ibu membuat aku luluh. Pikirku, bagaimana kalau sampai orang lain tahu
apa yang sedang terjadi dan apa yang diperbuat suami ibuku atau ayah
tiriku ini terhadapku.
Belum lagi aku jernih berpikir Pak Herman
menyeretku masuk ke kamar tidur dan mendorongku sampai jatuh telentang
di tempat tidur. Dengan garangnya Pak Herman menindih tubuhku dan
menciumi wajahku. Sementara tangannya yang kanan tetap mendekap mulutku,
tangan kirinya mengambil sesuatu dari dalam saku celananya. Benda kecil
licin segera dipaksakan masuk ke dalam mulutku. Benda kecil yang
ternyata kapsul lunak itu pecah di dalam mulut dan terpaksa tertelan.
Setelah menelan kapsul itu mataku jadi berkunang-kunang, kepalaku jadi
berat sekali dan anehnya, gairah seksku timbul secara tiba-tiba.
Jantungku berdebar keras sekali dan aliran darahku terasa amat cepat.
Entah bagaimana, aku pasrah saja dan bahkan begitu mendambakan sentuhan
seorang lelaki. Gairah itu begitu memuncak dan menggebu-gebu itu datang
secara tiba-tiba menyerang seluruh tubuhku.
Samar-samar kulihat
wajah Pak Herman menyeringai di atasku. Perlahan-lahan ia bangkit dan
melepaskan seluruh pakaianku. Kemudian ia membuka pakaiannya sendiri.
Aku tak bisa menolak. Diriku seperti terbang di awang-awang dan meski
tahu apa yang sedang terjadi, tetapi sama sekali tak ada niat untuk
melawan.
Begitu juga ketika Pak Herman yang sudah tak berpakaian
menindih tubuhku dan menggerayangi seluruh badanku, aku pasrah saja.
Bahkan ketika aku merasakan suatu benda asing memasuki tubuhku, aku tak
bisa berbuat apa-apa. Tak kuasa untuk menolak, karena aku merasakan
kenikmatan luar biasa dari benda asing yang mulai menembus dan
bergerak-gerak di dalam liang kewanitaanku. Kesadaranku entah berada di
mana. Hanya saja aku tahu, apa yang sedang terjadi pada diriku, Aku
telah diperkosa Pak Herman ayah tiriku!
Ketika siuman, kudapati
diriku telentang di ranjang Pak Herman (yang juga ranjang ibuku) tanpa
busana. Pakaianku berserakan di bawah ranjang. Sprei morat-marit dan
kulihat bercak darah di sprel itu. Aku menangis…, aku sudah tidak
perawan lagi karena diperkosa ayah tiriku! Aku sudah kehilangan apa yang
paling bernilai yaitu keperawanan dalam hidup seorang wanita. Aku
merasa jijik dan kotor. Aku bangkit dan bagian bawah tubuhku terasa
sakit sekali…, nyeri! Tetapi aku tetap berusaha bangkit dan dengan
tertatih-tatih berjalan ke kamar mandi. Kulihat jam dinding, Wah…, Sudah
tiga jam aku berada di rumah itu. Aku harus segera pulang agar ibu
tidak menunggu-nunggu. Aku segera mandi dan membersihkan diri serta
berdandan dengan cepat.
Kuambil barang dagangan yang tercecer di
lantai dan segera pulang. Pak Herman sudah tidak kelihatan lagi, mungkin
sudah kembali ke kantor. Kubiarkan ranjang morat-marit dan sprei
berdarah itu tetap berada di sana. Aku tak peduli. Hatiku sungguh hancur
lebur. Kebencianku kepada Pak Herman begitu dalam. Pada suatu saat, aku
akan membalasnya.
“Kok lama sekali?” tanya ibu ketika aku datang.
“Bannya kempes Bu, nambal dulu!” jawabku sambil mencoba menutupi perubahan wajahku yang tentu saja pucat dan malu. Kuletakkan barang dagangan di meja dan rasanya ingin sekali aku memeluk ibu dan memohon maaf serta menceritakan apa yang telah dilakukan ayah tiriku kepadaku.
“Kok lama sekali?” tanya ibu ketika aku datang.
“Bannya kempes Bu, nambal dulu!” jawabku sambil mencoba menutupi perubahan wajahku yang tentu saja pucat dan malu. Kuletakkan barang dagangan di meja dan rasanya ingin sekali aku memeluk ibu dan memohon maaf serta menceritakan apa yang telah dilakukan ayah tiriku kepadaku.
Tetapi
hati kecilku melarang. Aku tak ingin membuat ibu sedih dan kecewa. Aku
tak ingin ibuku kehilangan kebahagiaan yang baru saja didapatnya. Aku
tak kuasa membayangkan bagaimana hancurnya hati Ibu bila mengetahui apa
yang telah dilakukan suaminya kepadaku. Biarlah Untuk sementara kusimpan
sendiri kepedihan hati ini.
Dengan alasan hendak ke rumah teman,
aku mandi dan membersihkan diriku (lagi). Di kamar mandi aku menangis
sendiri, menggosok seluruh tubuhku dengan sabun berkali-kali. Jijik
rasanya aku terhadap tubuhku sendiri. Begitu keluar dan kamar mandi aku
langsung dandan dan pamit untuk ke rumah teman. Padahal aku tidak ke
rumah siapa-siapa. Aku larikan motorku keluar kota dan memarkirnya di
tambak yang sepi. Aku duduk menyepi sendiri di sana sambil menguras air
mataku.
“Ya Tuhan, ampunilah segala dosa-dosaku” ratapku seorang diri.
“Ya Tuhan, ampunilah segala dosa-dosaku” ratapku seorang diri.
Baru
sore menjelang magrib aku pulang. Ibu sudah dijemput Pak Herman pulang
ke rumahnya sehingga aku tak perlu bertemu dengan lelaki bejat ayah
tiriku itu. Kios masih buka dan adik yang menjaganya. Ketika aku pulang,
aku yang menggantikan menjaga kios dan adik masuk untuk belajar.
Untuk
beberapa hari lamanya aku sengaja tidak ingin bertemu Pak Herman. Malu,
benci dan takut bercampur aduk dalam hatiku. Aku sengaja menyibukkan
diri di belakang apabila pagi-pagi Pak Herman datang mengantar ibu ke
kios. Sorenya aku sengaja pergi dengan berbagai alasan saat Pak Herman
menjemput ibu pulang.
Namun meski aku sudah berusaha untuk terus
menghindar, peristiwa itu toh terulang lagi. Peristiwa kedua itu sengaja
diciptakan Pak Herman dengan akal liciknya. Ketika sore hari menjemput
ibu, Pak Herman mengatakan bahwa ia baru saja membeli sebuah sepeda
kecil untuk adikku, Reno. Sepeda itu ada di rumah Pak Herman dan adik
harus diambil nya sendiri.
Tentu saja adikku amat gembira dan
ketika Pak Herman menyarankan agar adik tidur di rumahnya, adik setuju
dan bahkan ibu dengan senang hati mendorongnya. Bertiga mereka naik
mobil dinas Pak Herman pulang ke rumah mereka. Karena tidak ada orang
lain di rumah, sebelum Pukul sembilan kios sudah kututup.
Rupanya,
setelah sampai di rumah dan menyerahkan sepeda kecil kepada adik, Pak
Herman beralasan harus kembali ke kantor karena ada pekerjaan yang harus
diselesaikannya malam itu juga. Ibu tidak curiga dan sama sekali tidak
mengira kalau kepergian suaminya sebenarnya tidak ke kantor, melainkan
kembali ke kios untuk memperkosaku.
Waktu itu sudah pukul sepuluh
malam dan kios sudah lama aku tutup. Tiba-tiba saja Pak Herman sudah ada
di dalam rumah. Rupanya Ia punya kunci milik ibu sehingga ia bisa bebas
keluar masuk rumah kami. Aku amat kaget dan ingin mendampratnya, tetapi
kembali dengan tenang dan wajah menyeringai, Pak Herman mengancamku
“Ayo, berteriaklah agar semua tetangga datang dan tahu apa yang sudah
aku lakukan terhadapmu!” ancamnya serius. “Ayo berteriaklah agar ibumu
malu dan seluruh keluargamu tercoreng!” tambahnya dengan suara serak.
Sekali
lagi aku terperangah. Mulutku sudah mau berteriak tetapi kata-kata Pak
Herman sekali mengusik hatiku. Perasaan takut akan terdengar tetangga,
ketakutan nama ibuku akan menjadi tercoreng, kecemasan bahwa tetangga
akan mengetahui peristiwa perkosaanku, aku hanya berdiri terpaku
memandang wajah penuh nafsu yang siap menerkamku. Aku tak bisa berpikir
jernih tagi. Hanya perasaan takut dan takut yang terus mendesak
naluriku.
Sebelum aku mampu mengambil keputusan apa yang akan
kulakukan, Pak Herman sudah maju dan mendekap tubuhku. Sekali lagi aku
ingin berteriak tetapi suaraku tersendat di tenggorokan. Entah bagaimana
awalnya namun yang aku tahu lelaki itu sudah menindih tubuhku dengan
tanpa busana. Yang jelas, malam itu aku terpaksa melayani nafsu suami
ibuku yang menggebu-gebu.
Dengan ganas ayah tiriku itu
memperlakukan aku seperti pelacur. Ia memperkosaku berkali-kali tanpa
belas kasihan. Dengus nafasnya yang berat dan tubuhnya yang menindih
tubuhku apalagi ketika ada sesuatu benda keras mulai masuk menyeruak
membelah bagian sensitif dan paling terhormat bagi kewanitaanku membuat
aku merintih kesakitan. Aku benar-benar dijadikannya pemuas nafsu yang
benar-benar tak berdaya.
Pak-Herman kuat sekali. Ia memaksaku
berbalik kesana kemari berganti posisi berkali-kali dan aku terpaksa
menurut saja. Hampir dua jam Pak Herman menjadikan tubuhku sebagai
bulan-bulanan nafsu seksnya. Bukan main! Begitu ia akan selesai kulihat
Pak Herman mencabut batangannya dari kemaluanku dengan gerakan cepat ia
mengocok-ngocokkan batangannya yang keras itu dengan sebelah tangannya
dan dalam hitungan beberapa detik kulihat cairan putih kental menyemprot
dengan banyak dan derasnya keluar dari batang kejantanannya, cairan
putih kental itu dengan hangatnya menyemprot membasahi wajah dan
tubuhku, ada rasa jijik di hatiku selain kurasakan amis dan asin yang
kurasakan saat cairan itu meleleh menuju bibirku, setelah itu ia lunglai
dan terkapar di samping tubuhku, tubuhku sendiri bagai hancur dan tak
bertenaga.
Seluruh tubuhku terasa amat sakit, dan air mata
bercucunan di pipiku. Namun terus terang saja, aku juga mencapai
orgasme. Sesuatu yang belum pernah kualami sebelumnya. Entah apa yang
membuat ada sedikit perasaan senang di dalam hatiku. Rasa puas dan
kenikmatan yang sama sekali tak bisa aku pahami. Aku sendiri tidak tahu
bagaimana bisa terjadi, tetapi kadangkala aku justru rindu dengan
perlakuan Pak Herman terhadapku itu. Aku sudah berusaha berkali-kali
menepis perasaan itu, tetapi selalu saja muncul di benakku. Bahkan
kadangkala aku menginginkan lagi dan lagi! Gila bukan?
Dan memang,
ketika pada suatu sore ibu sedang pergi ke luar kota dan Pak Herman
mandatangiku lagi, aku tak menolaknya. Ketika ia sudah berada di atas
tubuhku yang telanjang, aku justru menikmati dan mengimbanginya dengan
penuh semangat. Rupanya apa yang dilakukan Pak Herman terhadapku telah
menjadi semacam candu yang membuatku menjadi kecanduan dan ketagihan.
Aku kini mulai menikmati seluruh permainan dan gairah yang luar biasa
yang tak bisa kuceritakan saat ini dengan kata-kata.
Pak Herman
begitu bergairah dan menikmati seluruh lekuk-lekuk tubuhku dengan
liarnya, akupun mulai berani mencoba untuk merasakan bagian-bagian tubuh
seorang lelaki, akupun kini mulai berani untuk balas mencumbui,
membelai seluruh bagian tubuhnya dan mulai berani untuk menjamah batang
kejantanan ayah tiriku ini, begitu keras, panjang dan hangat. Aku
menikmati dengan sungguh-sungguh, Luar Biasa!
Pada akhir permainan
Pak Herman terlihat amat puas dan begitu juga aku. Namun karena malu,
aku tak berkata apa-apa ketika Pak Herman meninggalkan kamarku. Aku
sengaja diam saja, agar tak menunjukkan bahwa aku juga puas dengan
permainan itu. Bagaimanapun juga aku adalah seorang wanita yeng masih
punya rasa malu. Akan tetapi, ketika Pak Herman sudah pergi ada rasa
sesal di dalam hati. Ada perasaan malu dan takut. Bagaimanapun Pak
Herman adalah suami ibuku. Pak Herman telah menikahi ibuku secara sah
sehingga ia menjadi ayah tiriku, pengganti ayah kandungku.
Adalah
dosa besar melakukan hubungan tak senonoh antara anak dan ayah tiri.
Haruskah kulanjutkan pertemuan dan hubungan penuh nafsu dan maksiat ini?
Di
saat-saat sepi sediri aku termenung dan memutuskan untuk menjauh dan
Pak Herman, serta tidak melakukan hubungan gelap itu lagi. Namun di
saat-saat ada kesempatan dan Pak Herman mendatangiku serta mengajak
“bermain” aku tak pernah kuasa menolaknya. Bahkan kadangkala bila dua
atau tiga hari saja Pak Herman tidak datang menjengukku, aku merasa
kangen dan ingin sekali merasakan jamahan-jamahan hangat darinya.
Perasaan
itulah yang kemudian membuat aku semakin tersesat dan semakin
tergila-gila oleh “permainan” Pak Herman yang luar biasa hebat. Dengan
penuh kesadaran akhirnya aku menjadi wanita simpanan Pak Herman di luar
pengetahuan ibuku.
Sampai sekarang rahasia kami masih tertutup
rapat dan pertemuan kami sudah tidak terjadi di rumah lagi, tetapi lebih
banyak di losmen, hotel-hotel kecil dan di tempat-tempat
peristirahatan. Yah, disana aku dan Pak Herman bisa bermain cinta dengan
penuh rasa sensasi yang tinggi dan tidak kuatir akan kepergok oleh
ibuku, kini aku dan ayah tiriku sudah seperti menjadi suami istri.
Untuk
mencegah hal-hal yang sangat mungkin terjadi, dalam melakukan hubungan
seks Pak Herman selalu memakai kondom dan aku pun rajin minum jamu
terlambat bulan. Semua itu tentu saja di luar sepengetahuan ibu. Aku
memang puas dan bahagia dalam soal pemenuhan kebutuhan biologis, tetapi
sebenarnya jauh di dalam lubuk hati-aku sungguh terguncang. Bagaimana
tidak? Aku telah merebut suami ibuku sendiri dan ‘memakannya’ secara
bergantian.
Kadangkala aku juga merasa kasihan kepada ibu yang
sangat mencintaiku. Kalau saja sampai ibu tahu hubungan gelapku dengan
Pak Herman, Ibu pasti akan sedih sekali. Hatinya bakal hancur dan
jiwanya tercabik-cabik. Bagaimana mungkin anak yang amat disayanginya
bisa tidur dengan suaminya? Sampai kapan aku akan menjalani hidup yang
tak senonoh dan penuh dengan maksiat ini?
Entahlah, sekarang ini
aku masih kuliah. Mungkin bila nanti sudah lulus dan jadi sarjana aku
bisa keluar dan lingkugan rumah dan bekerja di kota lain. Saat ini
mungkin aku belum punya kekuatan untuk pergi, tetapi suatu saat nanti
aku pasti akan pergi jauh dan mencari lelaki yang benar-benar sesuai dan
dapat kuandalkan sebagai suami yang baik, dan tentunya kuharapkan lebih
perkasa dari yang kudapatkan dan kurasakan sekarang. Mungkin dengan
cara itu aku bisa melupakan Pak Herman dan melupakan peristiwa-peristiwa
yang sangat memalukan itu. END
Untuk Melihat Video Selengkapnya Klik Di Bawah ini :
Posted By : 233won.com
Comments
Post a Comment