Bandar Joker123 Terpercaya - Gairah Erotis Janda Muda Nakal Penuh Nafsu
Bandar Joker123 Terpercaya - Gairah Erotis Janda Muda Nakal Penuh Nafsu - Tina diminta oleh Ayah Anto untuk mengambil sesuatu di kamarnya. Melihat
peluang itu, aku diam-diam mengikutinya dari belakang. Kamar ayah Anto
memang tidak terlihat dari tempat di mana orang tua itu biasa duduk.
Sesampainya di kamar kuraih pinggang semampai perawat itu dari belakang.
Tina terkejut dan tertawa kecil ketika sadar siapa yang memeluknya dan
tanpa basa-basi aku langsung menyambut ciumanku dengan bibirnya yang
mungil itu sambil dengan buas mengulum lidahku.
Bandar Joker123 Terpercaya - Ia memang sudah tidak malu-malu lagi seperti awal pertemuan kami.
Janda cantik itu sudah menunjukkan karakternya sebagai seorang pecinta
sejati yang tanpa malu-malu lagi menunjukkan kebuasan gairahnya. Kadang
aku tidak mengerti, kenapa suaminya tega meninggalkannya. Namun
analisaku mengatakan, suaminya tak mampu mengimbangi gejolak gairah Tina
di atas ranjang dan untuk menutupi rasa malu yang terus menerus
terpaksa ia meninggalkan perempuan muda itu untuk hidup bersama dengan
perempuan lain yang lebih ‘low profile’. Aku memang belum sempat
menanyakan pada Tina bagaimana ia menyalurkan kebutuhan biologisnya di
saat menjanda. Aku berpikir, bawa masturbasi adalah jalan satu-satunya.
Kami
berdua masih saling berciuman dengan ganas ketika dengan sigap aku
menyelipkan tanganku ke balik baju perawatnya yang putih itu. Sungguh
terkejut ketika aku sadar bahwa ia sama sekali tidak memakai BH sehingga
dengan mudahnya kuremas buah dada kanannya yang ranum itu.
“Kok ngga pakai BH Mbak..?” Sambil menggelinjang dan mendesah, ia menjawab sambil tersenyum nakal.
“Supaya gampang diremas sama kamu..”. Benar-benar jawaban yang menggemaskan!
Kembali
kukulum bibir dan lidahnya yang menggairahkan itu sambil dengan cepat
kubuka kancing bajunya yang pertama, kedua, dan ketiga. Lalu tanpa
membuang waktu kutundukkan kepalaku, dengan tangan kananku kukeluarkan
buah dada kanannya dan kuhisap sedemikian rupa sehingga hampir
setengahnya masuk ke dalam mulutku. Tina mulai mengerang kegelian,
“Ouhh.., geli Mas.., geliii.., ahh..”. Sejak kejadian malam itu, ia
memang membiasakan dirinya untuk memanggilku Mas. Sambil menggelinjang
dan merintih, tangan kanan Tina mulai mengelus-elus bagian depan celana
kantorku.
Penisku yang terletak tepat di baliknya terasa semakin
menegang dan menegang. Jari-jari lentik perempuan itu berusaha untuk
mencari letak kepala penisku untuk kemudian digosok-gosoknya dari luar
celana. Sensasi itu membuat nafasku semakin memburu seperti layaknya
nafas kuda yang tengah berlari kencang. Seakan tak mau kalah darinya,
tangan kiriku berusaha menyingkap rok janda muda itu dan dengan sigap
kugosokkan jari-jemariku di celana dalamnya. Tepat diatas vaginanya,
celana dalam Tina terasa sudah basah. Sungguh hebat! Hanya dalam
beberapa menit saja, ia sudah sedemikian terangsangnya sehingga
vaginanya sudah siap untuk dimasuki oleh penisku.
Tanpa membuang
waktu kuturunkan celana dalam tipis yang kali ini berwarna hitam,
kudorong tubuh montok perawat itu ke dinding, lalu kuangkat paha
kanannya sehingga dengkulnya menempel di pinggangku. Dengan sigap pula
kubuka resliting celanaku dan kukeluarkan penisku yang sudah sangat
tegang dan besar itu. Tina sudah nampak pasrah. Ia hanya bersender di
dinding sambil memejamkan matanya dan memeluk bahuku.
“Tina..,
mana minyak tawonnya.., kok lama betuul”. Suara orang tua itu terdengar
dengan keras. Sungguh menjengkelkan. Tina sempat terkejut dan nampak
panik ketika kemudian aku berbisik, “Tenang Mbak.., jawab aja.., kita
selesaikan dulu ini.., kamu mau kan?” Ia mengangguk seraya tersenyum
manis.
“Sebentar Pak..”, teriaknya.
“Minyak tawonnya keselip entah ke mana.., ini lagi dicari kok”. Ia tertawa cekikikan, geli mendengar jawaban spontannya sendiri.
Namun tawanya itu langsung berubah menjadi jerikan erotis kecil ketika kupukul-pukulkan kepala penisku ke selangkangannya.
Perlahan-lahan kutempelkan kepala penisku itu di pintu vaginanya. Sambi
kuputar-putar kecil kudorong pinggulku perlahan-lahan. Tina ternganga
sambil terengah-engah, “aahh.., aahh.., ouhh.., Mas.., besar sekali..,
pelan-pelan Mas..pelan-pelanhh..”, dan, “aa”. Tina menjerit kecil ketika
kumasukkan seluruh penisku ke dalam vaginanya yang becek dan terasa
sangat sempit dalam posisi berdiri ini. Aku menyodokkan penisku maju
mundur dengan gerakan yang percepatannya meningkat dari waktu ke waktu.
Tubuh Tina terguncang-guncang, buah dadanya bergayut ke kiri dan kanan
dan jeritannya semakin menjadi-jadi.
Aku sudah tak peduli kalau
ayah Anto sampai mendengarkan jeritan perempuan itu. Nafsuku sudah naik
ke kepala. Janda muda ini memang memiliki daya pikat seks yang luar
biasa. Walaupun ia hanya seorang perawat, namun kemulusan dan kemontokan
badannya sungguh setara dengan perempuan kota jaman sekarang. Sangat
terawat dan nikmat sekali bila digesek-gesekkan di kulit kita. Gerakan
pinggulku semakin cepat dan semakin cepat. Mulutku tak puas-puasnya
menciumi dan menghisap puting buah dadanya yang meruncing panjang dan
keras itu. Buah dadanya yang kenyal itu hampir seluruhnya dibasahi oleh
air liurku. Aku memang sedang nafsu berat. Aku merasakan bahwa sebentar
lagi aku akan orgasme dan bersamaan dengan itu juga tubuh Tina menegang.
Kupercepat
gerakan pinggulku dan tiba-tiba, “aahh.., Mas.., Masss, aku keluarrr..,
aahh”, Jeritnya. Saat itu juga kusodokkan penisku ke dalam vagina janda
muda itu sekeras-kerasnya dan, “Craat.., craatt.., craat”.
“Ahh…,
Mbaak”, erangku sambil meringis menikmati puncak orgasme kami yang
waktunya jatuh bersamaan itu. Kami berpelukan sesaat dan Tina berbisik
dengan suara serak.
“Mas.., aku ngga pernah dipuasin laki-laki seperti kamu muasin saya.., kamu hebat..”. Aku tersenyum simpul.
“Mbak., aku masih punya 1001 teknik yang bisa membuat kamu melayang ke
surga ke-7.., ngga bosan kan kalo lain waktu aku praktekkan sama kamu?”.
Perlahan Tina menurunkan paha kanannya dan mencabut penisku dari
vaginanya.
“Bosan? Aku gila apa.., yang beginian ngga akan membuatku bosan.., kalau
bisa tiap hari aku mau Mas..”. Benar-benar luar biasa libido perempuan
ini. Beruntung aku mempunyai libido yang juga luar biasa besarnya.
Sebagai partner seks, kami benar-benar seimbang.
Setelah kejadian
siang itu, aku dan Tina seperti pengantin baru saja. Tak ada waktu luang
yang tak terlewatkan tanpa nafsu dan birahi.
Walaupun demikian,
aku tekankan pada Tina, bahwa hubungan antara aku dan dia, hanyalah
sebatas hubungan untuk memuaskan nafsu birahi saja. Aku dan dia punya
hak untuk berhubungan dengan orang lain. Tina si janda muda yang sudah
merasakan kenikmatan seks bebas itu tentu saja menyetujuinya.
Suatu
hari, Tina masuk ke dalam kamarku dan ia berkata, “Mas, aku akan
mengambil cuti selama 1 bulan. Aku harus mengurusi masalah tanah warisan
di kampungku..”.
“Lha.., kalau Mbak pulang, siapa yang akan
mengurusi Bapak?”, tanyaku sambil membayangkan betapa kosongnya
hari-hariku selama sebulan ke depan.
“Mas Anto bilang, akan ada adik Bapak yang akan menggantikan aku selama 1
bulan.., namanya Mbak Ine.., dia ngga kimpoi.., umurnya sudah hampir 40
tahun.., orangnya baik kok.., cerewet.., tapi ramah..”. Yah apa boleh
buat, aku terpaksa kehilangan seorang teman berhubungan seks yang sangat
menggairahkan. Hitung-hitung cuti 1 bulan.
Hari ini adalah hari
ke lima setelah kepergian Tina. Mbak Ine, pengganti sementara Tina,
ternyata adalah adik ipar ayah Anto. Jadi, adik istri si bapak tua itu.
Mbak Ine adalah seorang perempuan Sunda yang ramah. Wajahnya lumayan
cantik, kulitnya berwarna hitam manis, badannya agak pendek dan bertubuh
montok. Ukuran buah dadanya besar. Jauh lebih besar dari Tina dan
senantiasa berdandan agak menor. Wanita yang berumur hampir 40 tahun itu
mengaku belum pernah menikah karena merasa bahwa tak ada laki-laki yang
bisa cocok dengan sifatnya yang avonturir. Saat ini ia bekerja secara
freelance di sebuah stasiun televisi sebagai penulis naskah. Kemampuan
bergaulku dan keramahannya membuat kami cepat sekali akrab.
Lagi-lagi, kamarku itu kini menjadi markas curhatnya Mbak Ine.
“Panggil saya teh Ine aja deh..”, katanya suatu kali dengan logat Bandungnya yang kental.
“Kalau gitu panggil saya Rafi aja ya teh.., ngga usah pake pak pak-an segala..”, balasku sambil tertawa.
Baru
5 hari kami bergaul, namun sepertinya kami sudah lama saling mengenal.
Kami seperti dua orang yang kasmaran, saling memperhatikan dan saling
bersimpati. Persis seperti cinta monyet ketika kita remaja. Saat itu
seperti biasa, kami sedang ngobrol santai dari hati ke hati sambil duduk
di atas ranjangku. Aku memakai baju kaos dan celana pendek yang ketat
sehingga tanpa kusadari tekstur penis dan testisku tercetak dengan
jelas. Bila kuperhatikan, beberapa kali tampak teh Ine mencuri-curi
melirik selangkanganku yang dengan mudah dilihatnya karena aku duduk
bersila.
Aku sengaja membiarkan keadaan itu berlangsung. Malah
kadang-kadang dengan sengaja aku meluruskan kedua kakiku dengan posisi
agak mengangkang sehingga cetakan penisku makin nyata saja di celanaku.
Sesekali,
ditengah obrolan santai itu, tampak teh Ine melirik selangkanganku yang
diikuti dengan nafasnya yang tertahan. Kenapa aku melakukan hal ini?
Karena libidoku yang luar biasa, aku jadi tertantang untuk bisa meniduri
teh Ine yang aku yakini sudah tak perawan lagi karena sifatnya yang
avonturir itu. Dan lagi, dari sifatnya yang ramah, ceria, cerewet dan
petualang itu, aku yakin di balik tubuh montok perempuan setengah baya
tersimpan potensi libido yang tak kalah besar dengan Tina.
Juga,
gayanya dalam bergaul yang mudah bersentuhan dan saling memegang lengan
sering membuat darahku berdesir. Apalagi kalau aku sedang dalam keadaan
libido tinggi.
Saat ini, teh Ine mengenakan daster berwarna putih
tipis sehingga tampak kontras dengan warna kulitnya yang hitam manis
itu. Belahan buah dadanya yang besar itu menyembul di balik lingkaran
leher yang berpotongan rendah di bagian dada. Dasternya sendiri berpola
terusan hingga sebatas lutut sehingga ketika duduk, pahanya yang montok
itu terlihat dengan jelas. Aku selalu berusaha untuk bisa mengintip
sesuatu yang terletak di antara kedua paha teh Ine. Namun karena posisi
duduknya yang selalu sopan, aku tak dapat melihat apa-apa.
Bukan
main! Ternyata seorang wanita berusia 40-an masih mempunyai daya tarik
sexual yang tinggi. Terus terang, baru kali ini aku berani berfantasi
mengenai hubungan seks dengan teh Ine. Sementara ia bercerita tentang
masa mudanya, pikiranku malah melayang dan membayangkan tubuh teh Ine
sedang duduk di hadapanku tanpa selembar benangpun. Alangkah
menggairahkannya. Aku seperti bisa melihat dengan jelas seluruh lekuk
tubuhnya yang mulus tanpa cacat. Tanpa sadar, penisku menegang dan
cairan madzi di ujungnya pun mulai keluar. Celanaku tampak basah di
ujung penisku, dan cetakan penis serta testisku semakin jelas saja
tercetak di selangkangan celanaku.
Membesarnya penisku ternyata
tak lepas dari perhatian teh Ine. Tampak jelas terlihat matanya
terbelalak melihat ukuran penisku yang membesar dan tercetak jelas di
celana pendekku. Obrolan kami mendadak terhenti karena beberapa saat teh
Ine masih terpaku pada selangkanganku.
“Kunaon teh..?”, tanyaku memancing.
“Eh.., enteu.., kamu teh mikirin apa sih?”, katanya sambil tersenyum simpul.
“Mikirin teh Ine teh.., entah kenapa barusan saya membayangkan teh Ine
nggak pakai apa-apa.., aduh indahnya teh..”, tiba-tiba saja jawaban itu
meluncur dari mulutku.
Aku sendiri terkejut dengan jawabanku yang
sangat terus terang itu dan sempat membuatku terpaku memandang wajah teh
Ine. Wajah teh Ine tampak memerah mendengar jawabanku itu. Napasnya
mendadak memburu.
Tiba-tiba teh Ine bangkit dari duduknya dan
berjalan menuju pintu. Ia menutup pintu kamarku dan menguncinya. Leherku
tercekat, dan kurasakan jantungku berdegup semakin kencang. Dengan
tersenyum dan sorot mata nakal ia menghampiriku dan duduk tepat di
hadapan selangkanganku. Aku memang sedang dalam posisi selonjor dengan
kedua kaki mengangkang.
“Fi, kamu pingin sama teteh..? Hmm?”,
Desahnya seraya meraba penis tegangku dari luar celana. Aku menelan
ludah sambil mengangguk perlahan dan tersenyum. Entah mengapa, aku jadi
gugup sekali melihat wajah teh Ine yang semakin mendekat ke wajahku.
Tanpa sadar aku menyandarkan punggungku ke tembok di ujung ranjang dan
teh Ine menggeser duduknya mendekatiku sambil tetap menekan dan membelai
selangkanganku. Nafas teh Ine yang semakin cepat terasa benar semakin
menerpa hidung dan bibirku. Rasa nikmat dari belaian jemari teh Ine di
selangkanganku semakin terasa keujung syaraf-syarafku. Napasku mulai
memburu dan tanpa sadar mulutku mulai mengeluarkan suara
erangan-erangan.
Dengan lembut teh Ine menempelkan bibirnya di
atas bibirku. Ia memulainya dengan mengecup ringan, menggigit bibir
bawahku, dan tiba-tiba.., lidahnya memasuki mulutku dan berputar-putar
di dalamnya dengan cepat. Langit-langit mulutku serasa geli disapu oleh
lidah panjang milik perempuan setengah baya yang sangat menggairahkan
itu. Aku mulai membalas ciuman, gigitan, dan kuluman teh Ine. Sambil
berciuman, tangan kananku kuletakkan di buah dada kiri teh Ine. Uh..,
alangkah besarnya.., walaupun masih ditutupi oleh daster, keempukan dan
kekenyalannya sudah sangat terasa di telapak tanganku.
Dengan
cepat kuremas-remas buah dada teh Ine itu, “Emph.., emph..”, rintihnya
sambil terus mengulum lidahku dan menggosok-gosok selangkanganku.
Mendadak teh Ine menghentikan ciumannya. Ia menahan tanganku yang tengah
meremas buah dadanya dan berkata,
“Fi, sekarang kamu diam dulu yah.., biar teteh yang duluan..”.
Tiba-tiba
dengan cepat teh Ine menarik celana pendekku sekalian dengan celana
dalamku. Saking cepatnya, penisku yang menegang melejit keluar. Sejenak
teh Ine tertegun menatap penisku yang berdiri tegak laksana tugu monas
itu. “Gusti Rafi.., ageung pisan..”, bisiknya lirih. Dengan cepat teh
Ine menundukkan kepalanya, dan seketika tubuhku terasa dialiri oleh
aliran listrik yang mengalir cepat ketika mulut teh Ine hampir menelan
seluruh penisku. Terasa ujung penisku itu menyentuh langit-langit
belakang mulut teh Ine. Dengan sigap teh Ine memegang penisku sementara
lidahnya memelintir bagian bawahnya. Kepala teh Ine naik turun dengan
cepat mengiringi pegangan tangannya dan puntiran lidahnya.
Aku
benar-benar merasa melayang di udara ketika teh Ine memperkuat
hisapannya. Aku melirik ke arah kaca riasku, dan di sana tampak diriku
terduduk mengangkang sementara teh Ine dengan dasternya yang masih saja
rapi merunduk di selangkanganku dan kepalanya bergerak naik turun. Suara
isapan, jilatan dan kecupan bibir perempuan montok itu terdengar dengan
jelas. Kenikmatan ini semakin menjadi-jadi ketika kurasakan teh Ine
mulai meremas-remas kedua bola testisku secara bergantian. Perutku
serasa mulas dan urat-urat di penisku serasa hendak putus karena
tegangnya. Teh Ine tampak semakin buas menghisapi penisku seperti
seseorang yang kehausan di padang pasir menemukan air yang segar.
Jari-jemarinyapun semakin liar mempermainkan kedua testisku. “Slurrp..,
Cuph.., Mphh..”. Suara kecupan-kecupan di penisku semakin keras saja.
Nafsuku
sudah naik ke kepala. Aku berontak untuk berusaha meremas kedua buah
dada montok dan besar milik wanita lajang berusia setengah baya itu,
namun tangan teh Ine dengan kuat menghalangi tubuhku dan iapun semakin
gila menghisapi dan menjilati penisku. Aku mulai bergelinjang-gelinjang
tak karuan.
“Teh Ine.., teeeh, gantian dongg.., please.., saya
udah ngga kuaat, aahh.., sss..”, erangku seakan memohon. Namun
permintaanku tak digubrisnya. Kedua tangan dan mulutnya semakin cepat
saja mengocok penisku. Terasa seluruh syaraf-syarafku semakin menegang
dan menegang, degup jantungku berdetak semakin kencang.. napaskupun
makin memburu.
“Oohh…, Teh Ine.., Teh Ineee…, aahh.”, Aku berteriak sambil mengangkat
pinggulku tinggi-tinggi dan, “Crat.., craat.., craat”, aku memuncratkan
spermaku di dalam mulut teh Ine.
Dengan sigap pula teh Ine menelan
dan menjilati spermaku seperti seorang yang menjilati es krim dengan
nikmatnya. Setiap jilatan teh Ine terasa seperti setruman-setruman kecil
di penisku. Aku benar-benar menikmati permainan ini.., luar biasa teh
Ine, “Enak Fi..? Hmm?”, teh Ine mengangkat kepalanya dari selangkanganku
dan menatapku dengan senyum manisnya, tampak di seputar mulutnya banyak
menempel bekas-bekas spermaku.
“Fuhh nikmatnya sperma kamu Fi..” Bisiknya mesra seraya menjilat sisa-sisa spermaku di bibirnya.
“Obat awet muda ya teh..”, kataku bercanda.
“Yaa gitulah…, antosan sekedap nya? Biar teteh ambilkan minum buat
kamu”. Oh my God.., benar-benar seorang wanita yang penuh pengabdian,
dia belum mengalami orgasme apa-apa tapi perhatiannya pada pasangan
lelakinya luar biasa besar, sungguh pasangan seks yang ideal! Kenyataan
itu saja membuat rasa simpati dan birahiku pada teh Ine kembali
bergejolak. Teh Ine kembali dari luar membawa segelas air.
“Minum deh.., biar kamu segeran..”.
“Nuhun teh.., tapi janji ya abis ini giliran saya muasin teteh..”. Aku
meneguk habis air dingin buatan teh Ine dan saat itu pula aku merasakan
kejantananku kembali. Birahiku kembali bergejolak melihat tubuh montok
teh Ine yang ada di hadapanku.
Aku meraih tangan teh Ine dan dengan sekali betot kubaringkan tubuhnya yang molek itu di atas ranjang.
“Eeehh.., pelan-pelan Fi..”, teriak teh Ine dengan geli.
“Teteh mau diapain sih “, lanjutnya manja. Tanpa menjawab, aku menindih
tubuh montok itu, dan sekejap kurasakan nikmatnya buah dada besar itu
tergencet oleh dadaku. Juga, syaraf-syaraf sekitar pinggulku merasakan
nikmatnya penisku yang menempel dengan gundukan vaginanya walaupun masih
ditutupi oleh daster dan celana dalamnya.
Kupandangi wajah teh
Ine yang bundar dan manis itu. Kalau diperhatikan, memang sudah terdapat
kerut-kerut kecil di daerah mata dan keningnya. Tapi peduli setan! Teh
Ine adalah seorang wanita setengah baya yang paling menggairahkan yang
pernah kulihat. Pancaran aura sexualnya sungguh kuat menerangi sanubari
lelaki yang memandangnya.
“Teteh mau tau apa yang ingin saya lakukan terhadap teteh?”, Kataku sambil tersenyum.
“Saya akan memperkosa teteh sampai teteh ketagihan”.
Lalu dengan
ganas, aku memulai menciumi bibir dan leher teh Ine. Teh Inepun dengan
tak kalah ganasnya membalas ciuman-ciumanku. Keganasan kami berdua
membuat suasana kamarku menjadi riuh oleh suara-suara kecupan dan
rintihan-rintihan erotis. Dengan tak sabar aku menarik ritsluiting
daster teh Ine, kulucuti dasternya, BH-nya, dan yang terakhir.., celana
dalamnya. Wow.., sebuah gundukan daging tanpa bulu sama sekali terlihat
sangat menantang terletak di selangkangan teh Ine. My God.., alangkah
indahnya vagina teh Ine itu.., tak pernah kubayangkan bahwa ia mencukur
habis bulu kemaluannya.
“Kamu juga buka semua dong Fi”, rengeknya
sambil menarik baju kaosku ke atas. Dalam sekejap, kami berdua berdua
berpelukan dan berciuman dengan penuh nafsu dalam keadaan bugil! Sambil
menindih tubuhnya yang montok itu, bibirku menyelusuri lekuk tubuh teh
Ine mulai dari bibir, kemudian turun ke leher, kemudian turun lagi ke
dada, dan terus ke arah puting susu kirinya yang berwarna coklat
kemerah-merahan itu. Alangkah kerasnya puting susunya, alangkah
lancipnnya.., dan mmhh.., seketika itu juga kukulum, kuhisap dan kujilat
puting kenyal itu.., karena gemasnya, sesekali kugigit juga puting itu.
“Auuhh..,
Fi.., gellii.., sss.., ahh”, rintihnya ketika gigitanku agak
kukeraskan. Badan montoknya mulai mengelinjang-gelinjang ke sana k
emari.., dan mukanya menggeleng-geleng ke kiri dan ke kanan. Sambil
menghisap, tangan kananku merayap turun ke selangkangannya. Dengan mudah
kudapati vaginanya yang besar dan sudah sangat becek sekali. Akupun
dengan sigap memain-mainkan jari tenganku di pintu vaginanya. “Crks..,
crks.., crks”, terdengar suara becek vagina teh Ine yang berwarna lebih
putih dari kulit sekitarnya. Ketika jariku mengenai gundukan kecil
daging yang mirip dengan sebutir kacang, ketika itu pula wanita setengah
baya itu menjerit kecil.
“Ahh.., geli Fi.., gelli”, Putaran
jariku di atas clitoris teh Ine dan hisapanku pada kedua puting buah
dadanya makin membuat lajang montok berkulit hitam manis itu semakin
bergelinjang dengan liar.
“Fi.., masukin sekarang Fi..,
sekarang.., please.., teteh udah nggak tahan..ahh..”. Kulihat wajah teh
Ine sudah meringis seperti orang kesakitan. Ringisan itu untuk menahan
gejolak orgasmenya yang sudah hampir mencapai puncaknya. Dengan sigap
kuarahkan penisku ke vagina montok milik teh Ine.., kutempelkan kepala
penisku yang besar tepat di bawah clitorisnya, kuputar-putarkan sejenak
dan teh Ine meresponnya dengan mengangkangkan pahanya selebar-lebarnya
untuk memberi kemudahan bagiku untuk melakukan penetrasi.., saat itu
pula kusodokkan pantatku sekuat-kuatnya dan, “Blesss”, masuk semuanya!
“Aahh.”
Teh Ine menjerit panjang.., “Besar betul Fi.., auhh., besar betuull…,
duh gusti enaknya.., aahh..”. Dengan penuh keganasan kupompa penisku
keluar masuk vagina teh Ine. Dan iapun dengan liarnya memutar-mutar
pinggulnya di bawah tindihanku. Astaga.., benar-benar pengalaman yang
luar biasa! Bahkan keliaran teh Ine melebihi ganasnya Mbak Tina.., luar
biasa!
Kedua tubuh kami sudah sangat basah oleh keringat yang
bercampur liur. Kasurkupun sudah basah di mana-mana oleh cairan mani
maupun lendir yang meleleh dari vagina teh Ine, namun entah kekuatan apa
yang ada pada diri kami…, kami masih saling memompa, merintih,
melenguh, dan mengerang. Bunyi ranjangkupun sudah tak karuan..,
“Kriet.., kriet.., krieeet”, sesuai irama goyangan pinggul kami berdua.
Penisku yang besar itu masih dengan buasnya menggesek-gesek vagina teh
Ine yang terasa sempit namun becek itu.
Setelah lebih dari 15 menit kami saling memompa, tiba-tiba kurasakan seluruh tubuh teh Ine menegang.
“Fi.., Fi.., Teteh mau keluar..”.
“Iya teh, saya juga.., kita keluar sama-sama teh”, Goyanganku semakin
kupercepat dan pada saat yang bersamaan kami berdua saling berciuman
sambil berpelukan erat.., aku menancapkan penisku dalam-dalam dan teh
Ine mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi…, “Crat.., crat.., crat..,
crat”, kami berdua mengerang dengan keras sambil menikmati tercapainya
orgasme pada saat yang bersamaan. Kami sudah tak peduli bila seisi rumah
akan mendengarkan jeritan-jeritan kami, karena aku yakin teh Inepun tak
pernah merasakan kenikmatan yang luar biasa ini sepanjang hidupnnya.
“Ahh.., Fi.., kamu hebaat.., kamu hebaathh.., hh.., Teteh ngga pernah ngerasain kenikmatan seperti ini”.
“Saya juga teh.., terima kasih untuk kenikmatan ini..”, Kataku seraya mengecup kening teh Ine dengan mesra.
“Mau tau suatu rahasia Fi?”, tanyanya sambil membelai rambutku, “Teteh
sudah lima tahun tidak bersentuhan dengan laki-laki.., tapi entah
kenapa, dalam 5 hari bergaul dengan kamu.., teteh tidak bisa menahan
gejolak birahi teteh.., ngga tau kenapa.., kamu itu punya aura seks yang
luar biasa..”. Teh Ine bangkit dari ranjangku dan mengambil sesuatu
dari kantong dasternya. Sebutir pil KB.
“Seperti punya fitasat, teteh sudah minum pil ini sejak 3 hari yang
lalu..”, katanya tersenyum, “Dan akan teteh minum selama teteh ada di
sini..”, Teh Ine mengerdipkan matanya padaku dengan manja sambil memakai
dasternya.
“Selamat tidur sayang”, Teh Ine melangkah keluar dari kamarku.
Teh
Ine memang luar biasa. Ia bukan saja dapat menggantikan kedudukan Tina
sebagai partner seks yang baik, tetapi juga memberi sentuhan-sentuhan
kasih sayang keibuan yang luar biasa. Aku benar-benar dimanja oleh
wanita setengah baya itu. Fantasi sexualnya juga luar biasa. Mungkin itu
pengaruh dari pekerjaannya sebagai penulis cerita drama. Coba
bayangkan, ia pernah memijatku dalam keadaan bugil, kemudian sambil
terus memijat ia bisa memasukkan penisku ke dalam vaginanya, dan aku
disetubuhi sambil terus menikmati pijatan-pijatannya yang nikmat. Ia
juga pernah meminta aku untuk menyetubuhinya di saat ia mandi pancuran
di kamar mandi dan kami melakukannya dengan tubuh licin penuh sabun.
Dan
yang paling sensasional adalah.., Sore itu aku sudah berada di rumah.
Karena load pekerjaan di kantorku tidak begitu tinggi, aku sengaja
pulang cepat. Selesai mandi aku duduk di meja makan sambil menikmati
pisang goreng buatan teh Ine. Perempuan binal itu memang luar biasa. Ia
melayaniku seperti suaminya saja. Segala keperluan dan kesenanganku
benar-benar diperhatikan olehnya. Seperti biasa, aku mengenakan baju
kaos buntung dan celana pendek longgar kesukaanku dan (seperti biasa
juga) aku tidak menggunakan celana dalam. Kebiasaan ini kumulai sejak
adanya teh Ine di rumah ini, karena bisa dipastikan hampir tiap hari aku
akan menikmati tubuh sintal adik ipar ayah si Anto itu.
Sore itu
sambil menikmati pisang goreng di meja makan, aku bercakap-cakap dengan
ayah Anto. Orang tua itu duduk di pojok ruangan dekat pintu masuk untuk
menikmati semilirnya angin sore kota Bandung. Jarak antara aku dengannya
sekitar 6 meter. Sambil bercakap-cakap mataku tak lepas dari teh Ine
yang mondar mandir menyediakan hidangan sore bagi kami. Entah ke mana
PRT kami saat itu. Teh Ine mengenakan celana pendek yang ditutupi oleh
kaos bergambar Mickey Mouse berukuran ekstra besar sehingga sering
tampak kaos itu menutupi celana pendeknya yang memberi kesan teh Ine
tidak mengenakan celana. Aku berani bertaruh perempuan itu tidak
menggunakan BH karena bila ia berjalan melenggang, tampak buah dadanya
bergayut ke atas ke bawah, dan di bagian dadanya tercetak puting buah
dadanya yang besar itu. Tanpa sadar batang penisku mulai membesar.
Setelah
selesai dengan kesibukannya, teh Ine duduk di sebelah kiriku dan ikut
menikmati pisang goreng buatannya. Kulihat ia melirik ke arahku sambil
memasukkan pisang goreng perlahan-lahan ke dalam mulutnya. Sambil
mengerdipkan matanya, ia memasukkan dan mengeluarkan pisang goreng itu
dan sesekali menjilatnya. Sambil terus berbasa basi dengan orang tua
Anto, aku menelan ludah dan merasakan bahwa urat-urat penisku mulai
mengeras dan kepala penisku mulai membesar. Tiba-tiba kurasakan
jari-jemari kanan teh Ine menyentuh pahaku. Lalu perlahan-lahan merayap
naik sampai di daerah penisku. Dengan gemas teh Ine meremas penis
tegangku dari luar celanaku sehingga membuat cairan beningku membuat
tanda bercak di celanaku.
Setelah beberapa lama meremas-remas,
tangan itu bergerak ke daerah perut dan dengan cepat menyelip ke dalam
celana pendekku. Aku sudah tidak tahu lagi apa isi percakapan orang tua
Anto itu. Beberapa kali ia mengulangi pertanyaannya padaku karena
jawabanku yang asal-asalan. Degup jantungku mulai meningkat. Jemari
lentik itu kini sudah mencapai kedua bolaku. Dengan jari telunjuk dan
tengah yang dirapatkan, perempuan lajang itu mengelus-elus dan
menelusuri kedua bolaku.., mula-mula berputar bergantian kiri dan kanan
kemudian naik ke bagian batang.., terus bergerak menelusuri urat-urat
tegang yang membalut batang kerasku itu, “sss…, teteh..”. Aku berdesis
ketika kedua jarinya itu berhenti di urat yang terletak tepat di bawah
kepala penisku.., itu memang daerah kelemahanku.., dan perempuan sintal
ini mengetahuinya.., kedua jemarinya menggesek-gesekkan dengan cepat
urat penisku itu sambil sesekali mencubitnya.
“aahh…”, erangku ketika akhirnya penisku masuk ke dalam genggamannya.
“Kenapa Rafi?”, Orang tua yang duduk agak jauh di depanku itu mengira aku mengucapkan sesuatu.
“E.., ee…, ndak apa-apa Pak..”, Jawabku tergagap sambil kembali meringis
ketika teh Ine mulai mengocok penisku dengan cepat. Gila perempuan ini!
Dia melakukannya di depan kakaknya sendiri walaupun tidak kelihatan
karena terhalang meja.
“Saya cuma merasa segar dengan udara Bandung yang dingin ini..”, Jawabku sekenanya.
“Ooo begitu.., saya pikir kamu sakit perut.., habis tampangmu
meringis-meringis begitu..”, Orang tua itu terkekeh sambil memalingkan
mukanya ke jalan raya.
Begitu kakaknya berpaling, teh Ine dengan
cepat merebahkan kepalanya ke pangkuanku sehingga dari arah ayah Anto,
teh Ine tak tampak lagi. Dengan cepat tangannya memelorotkan celanaku
sehingga penisku yang masih digenggamnya dengan erat itu terasa dingin
terterpa angin. Sejenak perempuan itu memandang penis besarku itu.., ia
selalu memberikan kesempatan pada matanya untuk menikmati ukuran dan
kekokohannya. Kemudian teh Ine menjulurkan lidahnya dan mulai menjilat
mengelilingi lubang penisku.., kemudian ia memasukkan ujung lidahnya ke
ujung lubang penisku dan mengecap cairan beningku.., lalu lidahnya
diturunkan lagi-lagi ke urat di bawah penisku. Aku mulai
menggelinjang-gelinjang tak karuan, walaupun dengan hati-hati takut
ketahuan oleh kakak teh Ine yang duduk di depanku.
Tanganku mulai
meraba-raba buah dadanya yang besar itu dan meremasnya dengan gemas,
“sss.., teeehh..”, desisku agak keras ketika perempuan itu dengan kedua
bibirnya menyedot urat di bawah kepala penisku itu.., sementara
tangannya meremas-remas kedua bolaku…, aawwww nikmatnya…, aku begitu
terangsang sehingga seluruh pori-pori kulitku meremang dan mukaku
berwarna merah. Aku sudah dalam tahap ingin menindih dan sesegera
mungkin memasukkan penisku ke dalam vagina perempuan ini tapi semua itu
tak mungkin kulakukan di depan kakaknya yang masih duduk di depanku
menikmati lalu lalang kendaraan di depan rumahnya.
Tiba-tiba bibir
teh Ine bergerak dengan cepat ke kepala penisku.., sambil terus
kupermainkan putingnya kulihat ia membuka mulutnya dengan lebar dan
tenggelamlah seluruh penisku ke dalam mulutnya. Aku kembali mendesis dan
meringis sambil tetap duduk di meja makan mendengarkan ocehan orang tua
Anto yang kembali mengajakku berbincang. Mulut teh Ine dengan cepat
menghisap dan bergerak maju mundur di penisku. Tanganku menarik
dasternya ke atas dari arah punggung sehingga terlihatlah pantatnya yang
mulus tidak ditutupi oleh selembar benangpun. Aku ingin menjamah
vaginanya, ingin rasanya kumasukkan jari-jariku dengan kasar ke dalamnya
dan kukocok-kocok dengan keras tapi aku sudah tak kuat lagi. Jilatan
lidah, kecupan, dan sedotan teh Ine di penisku membuat seluruh syarafku
menegang.
Tiba-tiba kujambak rambut teh Ine dan kutekan
sekuat-kuatnya sehingga seluruh penisku tenggelam ke dalam mulutnya.
Kurasakan ujung penisku menyentuh langit-langit tenggorokan teh Ine dan,
“Creeet…, creeett…, creeettt”, menyemburlah cairan maniku ke mulut teh
Ine.
“Ahh…, aahh.., aahh.., tetteeehh…”, Aku meringis dan mendesis keras ketika cairan maniku bersemburan ke dalam mulut teh Ine.
Perempuan
itu dengan lahap menjilati dan menelan seluruh cairanku sehingga
penisku yang hampir layu kembali sedikit menegang karena terus-terusan
dijilat. Aku memejamkan mataku.., gilaa.., permainan ini benar-benar
menakjubkan. Ada rasa was-was karena takut ketahuan, tapi rasa was-was
itu justru meningkatkan nafsuku. Teh Ine memandang penisku yang sudah
agak mengecil namun tetap saja dalam posisi tegak.
“Luar biasa…”, Bisiknya, “Siap-siap nanti malam yah?” Katanya sambil bangkit dan beranjak ke dapur. END
Comments
Post a Comment