Agen Bola Terbaik - Bercinta Dengan Perawat Janda Cantik Di Kamar
Agen Bola Terbaik - Bercinta Dengan Perawat Janda Cantik Di Kamar - Hari ini adalah hari pertamaku tinggal di kota Bandung. Karena tugas
kantorku, aku terpaksa tinggal di Bandung selama 5 Hari dan weekend di
Jakarta. Di kota kembang ini aku menyewa kamar di rumah temanku.
Menurutnya, rumah itu hanya ditinggali oleh Ayahnya yang sudah pikun,
seorang perawat, dan seorang pembantu.
Agen Bola Terbaik - “Rumah yang asri” gumamku
dalam hati. Halaman yang hijau, penuh tanaman dan bunga yang segar
dikombinasikan dengan kolam ikan berbentuk oval. Aku mengetuk pintu
rumah tersebut beberapa kali sampai pintu dibukakan. Sesosok tubuh
semampai berbaju serba putih menyambutku dengan senyum manisnya.
“Pak Rafi ya..”.
“Ya.., saya temannya Mas Anto yang akan menyewa
kamar di sini. Lho, kamu kan pernah kerja di tetanggaku?”, jawabku
surprise. Perawat ini memang pernah bekerja pada tetanggaku di Bintaro
sebagai baby sitter.
“Iya…, saya dulu pengasuhnya Aurelia. Saya
keluar dari sana karena ada rencana untuk kimpoi lagi. Saya kan dulu
janda pak.., tapi mungkin belum jodoh.., ee dianya pergi sama orang
lain.., ya sudah, akhirnya Saya kerja di sini..”, Mataku memandangi
sekujur tubuhnya.
Tina (nama si perawat itu) secara fisik memang
tidak pantas menjadi seorang perawat. Kulitnya putih mulus, wajahnya
manis, rambutnya hitam sebahu, buah dadanya sedang menantang, dan
kakinya panjang semampai. Kedua matanya yang bundar memandang langsung
mataku, seakan ingin mengatakan sesuatu.
Aku tergagap dan berkata, “Ee.., Mbak Tina, Bapak ada?”.
“Bapak sedang tidur. Tapi Mas Anto sudah nitip sama saya. Mari saya antarkan ke kamar..”.
Tina
menunjukkan kamar yang sudah disediakan untukku. Kamar yang luas,
ber-AC, tempat tidur besar, kamar mandi sendiri, dan sebuah meja kerja.
Aku meletakkan koporku di lantai sambil melihat berkeliling, sementara
Tina merunduk merapikan sprei ranjangku. Tanpa sengaja aku melirik Tina
yang sedang menunduk.
Dari balik baju putihnya yang kebetulan
berdada rendah, terlihat dua buah dadanya yang ranum bergayut di
hadapanku. Ujung buah dada yang berwarna putih itu ditutup oleh BH
berwarna pink. Darahku terkesiap. Ahh…, perawat cantik, janda, di rumah
yang relatif kosong.Sadar melihat aku terkesima akan keelokan buah
dadanya, dengan tersipu-sipu Tina menghalangi pemandangan indah itu
dengan tangannya.
“Semuanya sudah beres Pak…, silakan beristirahat..”.
“Ee…, ya.., terima kasih”, jawabku seperti baru saja terlepas dari lamunan panjang.
Sore
itu aku berkenalan dengan ayah Anto yang sudah pikun itu. Ia tinggal
sendiri di rumah itu setelah ditinggalkan oleh istrinya 5 tahun yang
lalu. Selama beramah-tamah dengan sang Bapak, mataku tak lepas
memandangi Tina. Sore itu ia menggunakan daster tipis yang
dikombinasikan dengan celana kulot yang juga tipis. Buah dadanya nampak
semakin menyembul dengan dandanan seperti itu. Di rumah itu ada seorang
pembantu berumur sekitar 17 tahun. Mukanya manis, walaupun tidak
secantik Tina. Badannya bongsor dan montok. Ani namanya. Ia yang
sehari-hari menyediakan makan untukku.
Hari demi hari berlalu.
Karena kepiawaianku dalam bergaul, aku sudah sangat akrab dengan
orang-orang di rumah itu. Bahkan Ani sudah biasa mengurutku dan Tina
sudah berani untuk ngobrol di kamarku. Bagi janda muda itu, aku sudah
merupakan tempat mencurahkan isi hatinya. Begitu mudah keakraban itu
terjadi hingga kadang-kadang Tina merasa tidak perlu mengetuk pintu
sebelum masuk ke kamarku.
Sampai suatu malam, ketika itu hujan
turun dengan lebatnya. Aku, karena sedang suntuk memasang VCD porno
kesukaanku di laptopku. Tengah asyik-asyiknya aku menonton tanpa sadar
aku menoleh ke arah pintu, astaga…, Tina tengah berdiri di sana sambil
juga ikut menonton. Rupanya aku lupa menutup pintu, dan ia tertarik akan
suara-suara erotis yang dikeluarkan oleh film bokep itu.
Ketika sadar bahwa aku mengetahui kehadirannya, Tina tersipu dan berlari ke luar kamar.
“Mbak Tina..”, panggilku seraya mengejarnya ke luar. Kuraih tangannya dan kutarik kembali ke kamarku.
“Mbak Tina…, mau nonton bareng? Ngga apa-apa kok..”.
“Ah, ngga Pak…, malu aku..”, katanya sambil melengos.
“Lho.., kok malu.., kayak sama siapa saja.., kamu itu.., wong kamu sudah
cerita banyak tentang diri kamu dan keluarga.., dari yang jelek sampai
yang bagus.., masak masih ngomong malu sama aku?”, Kataku seraya
menariknya ke arah ranjangku.
“Yuk kita nonton bareng yuk..”, Aku mendudukkan Tina di ranjangku dan pintu kamarku kukunci.
Dengan
santai aku duduk di samping Tina sambil mengeraskan suara laptopku.
Adegan-adegan erotis yang diperlihatkan ke 2 bintang porno itu memang
menakjubkan. Mereka bergumul dengan buas dan saling menghisap. Aku
melirik Tina yang sedari tadi takjub memandangi adegan-adegan panas
tersebut. Terlihat ia berkali-kali menelan ludah. Nafasnya mulai
memburu, dan buah dadanya terlihat naik turun.
Aku memberanikan
diri untuk memegang tangannya yang putih mulus itu. Tina tampak sedikit
kaget, namun ia membiarkan tanganku membelai telapak tangannya. Terasa
benar bahwa telapak tangan Tina basah oleh keringat. Aku membelai-belai
tangannya seraya perlahan-lahan mulai mengusap pergelangan tangannya dan
terus merayap ke arah ketiaknya. Tina nampak pasrah saja ketika aku
memberanikan diri melingkarkan tanganku ke bahunya sambil membelai mesra
bahunya. Namun ia belum berani untuk menatap mataku.
Sambil
memeluk bahunya, tangan kananku kumasukkan ke dalam daster melalui
lubang lehernya. Tanganku mulai merasakan montoknya pangkal buah dada
Tina. Kubelai-belai seraya sesekali kutekan daging empuk yang menggunung
di dada bagian kanannya.
Ketika kulihat tak ada reaksi dari Tina, secepat kilat kusisipkan
tangganku ke dalam BH-nya…, kuangkat cup BH-nya dan kugenggam buah dada
ranum si janda muda itu.
“Ohh.., Pak…, jangan..”, Bisiknya dengan
serak seraya menoleh ke arahku dan mencoba menolak dengan menahan
pergelangan tangan kananku dengan tangannya.
“Sshh…, ngga apa-apa Mbak…, ngga apa-apa..”.
“Nanti ketauanhh..”.
“Nggaa…, jangan takut..”, Kataku seraya dengan sigap memegang ujung
puting buah dada Tina dengan ibu jari dan telunjukku, lalu
kupelintir-pelintir ke kiri dan kanan.
“Ooh.., hh.., Pak.., Ouh.., jj.., jjanganhh.., ouh..”, Tina mulai
merintih-rintih sambil memejamkan matanya. Pegangan tangannya mulai
mengendor di pergelangan tanganku.
Saat itu juga, kusambar bibirnya yang sedari tadi sudah terbuka karena merintih-rintih.
“Ouhh.., mmff.., cuphh.., mpffhh..”, Dengan nafas tersengal-sengal Tina
mulai membalas ciumanku. Kucoba mengulum lidahnya yang mungil, ketika
kurasakan ia mulai membalas sedotanku. Bahkan ia kini mencoba menyedot
lidahku ke dalam mulutnya seakan ingin menelannya bulat-bulat. Tangannya
kini sudah tidak menahan pergelanganku lagi, namun kedua-duanya sudah
melingkari leherku.
Malahan tangan kanannya digunakannya untuk
menekan belakang kepalaku sehingga ciuman kami berdua semakin lengket
dan bergairah. Momentum ini tak kusia-siakan. Sementara Tina
melingkarkan kedua tangannya di leherku, akupun melingkarkan kedua
tanganku di pinggangnya. Aku melepaskan bibirku dari kulumannya, dan aku
mulai menciumi leher putih Tina dengan buas.
“aahh..Ouhh..” Tina
menggelinjang kegelian dan tanganku mulai menyingkap daster di bagian
pinggangnya. Kedua tanganku merayap cepat ke arah tali BH-nya dan,
“tasss..” terlepaslah BH-nya dan dengan sigap kualihkan kedua tanganku
ke dadanya.
Saat itulah lurasakan betapa kencang dan ketatnya
kedua buah dada Tina. Kenikmatan meremas-remas dan mempermainkan
putingnya itu terasa betul sampai ke ujung sarafku. Penisku yang sedari
tadi sudah menegang terasa semakin tegang dan keras. Rintihan-rintihan
Tina mulai berubah menjadi jeritan-jeritan kecil terutama saat kuremas
buah dadanya dengan keras. Tina sekarang lebih mengambil inisiatif.
Dengan nafasnya yang sudah sangat terengah-engah, ia mulai menciumi
leher dan mukaku.
Ia bahkan mulai berani menjilati dan menggigit
daun telingaku ketika tangan kananku mulai merayap ke arah
selangkangannya. Dengan cepat aku menyelipkan jari-jariku ke dalam
kulotnya melalui perut, langsung ke dalam celana dalamnya. Walaupun kami
berdua masih dalam keadaan duduk berpelukan di atas ranjang, posisi
paha Tina saat itu sudah dalam keadaan mengangkang seakan memberi jalan
bagi jari-jemariku untuk secepatnya mempermainkan kemaluannya.
Hujan
semakin deras saja mengguyur kota Bandung. Sesekali terdengar suara
guntur bersahutan. Namun cuaca dingin tersebut sama sekali tidak
mengurangi gairah kami berdua di saat itu. Gairah seorang lajang yang
memiliki libido yang sangat tinggi dan seorang janda muda yang sudah
lama sekali tidak menikmati sentuhan lelaki. Tina mengeratkan pelukannya
di leherku ketika jemariku menyentuh bulu-bulu lebat di ujung
vaginanya.
Ia menghentikan ciumannya di kupingku dan terdiam
sambil terus memejamkan matanya. Tubuhnya terasa menegang ketika jari
tengahku mulai menyentuh vaginanya yang sudah terasa basah dan berlendir
itu. Aku mulai mempermainkan vagina itu dan membelainya ke atas dan ke
bawah. “Ouuhh Pak.., ouhh.., aahh.., g..g.ggelliiihh…”.
Tina
sudah tidak bisa berkata-kata lagi selain merintih penuh nafsu ketika
clitorisnya kutemukan dan kupermainkan. Seluruh badan Tina bergetar dan
bergelinjang. Ia nampak sudah tak dapat mengendalikan dirinya lagi.
Jeritan-jeritannya mulai terdengar keras. Sempat juga aku kawatir
dibuatnya. Jangan-jangan seisi rumah mendengar apa yang tengah kami
lakukan. Namun kerasnya suara hujan dan geledek di luar rumah
menenangkanku. Benda kecil sebesar kacang itu terasa nikmat di ujung
jari tengahku ketika aku memutar-mutarnya. Sambil mempermainkan
clitorisnya, aku mulai menundukkan kepalaku dan menciumi buah dadanya
yang masih tertutupi oleh daster.
Seolah mengerti, Tina
menyingkapkan dasternya ke atas, sehingga dengan jelas aku bisa melihat
buah dadanya yang ranum, kenyal dan berwarna putih mulus itu bergantung
di hadapanku. Karena nafsuku sudah memuncak, dengan buas kusedot dan
kuhisap buah dada yang berputing merah jambu itu. Putingnya terasa keras
di dalam mulutku menandakan nafsu janda muda itupun sudah sampai di
puncak. Tina mulai menjerit-jerit tidak karuan sambil menjambak
rambutku.
Sejenak kuhentikan hisapanku dan bertanya, “Enak Mbak?”.
Sebagai jawabannya, Tina membenamkan kembali kepalaku ke dalam ranumnya
buah dadanya. Jari tengahku yang masih mempermainkan clitorisnya kini
kuarahkan ke lubang vagina Tina yang sudah menganga karena basah dan
posisi pahanya yang mengangkang. Dengan pelan tapi pasti kubenamkan jari
tengahku itu ke dalamnya dan,
“Auuhh.., P.Paak.., hh”. Tina
menjerit dan menaikkan kedua kakinya ke atas ranjang. “Terrusshh..,
auhh..”. Kugerakkan jariku keluar masuk di vaginanya dan Tina
menggoyangkan pingggulnya mengikuti irama keluar masuknya jemariku itu.
Aku
menghentikan ciumanku di buah dada Tina dan mulai mengecup bibir ranum
janda itu. Matanya tak lagi terpejam, tapi memandang sayu ke mataku
seakan berharap kenikmatan yang ia rasakan ini jangan pernah berakhir.
Tangan kiriku yang masih bebas, membimbing tangan kanan Tina ke balik
celana pendekku. Ketika tangannya menyentuh penisku yang sudah sangat
keras dan besar itu, terlihat ia agak terbelalak karena belum pernah
melihat bentuk yang panjang dan besar seperti itu. Tina meremas penisku
dan mulai mengocoknya naik turun naik turun.., kocokan yang nikmat yang
membuatku tanpa sadar melenguh, “Ahh.., Mbaak.., enaknya.., terusin..”.
Saat
itu kami berdua berada pada puncaknya nafsu. Aku yakin bahwa Mbak Tina
sudah ingin secepatnya memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Ia tidak
mengatakannya secara langsung, namun dari tingkahnya menarik penisku dan
mendekatkannya ke vaginanya sudah merupakan pertanda. Namun, di
detik-detik yang paling menggairahkan itu terdegar suara si Bapak tua
berteriak, “Tina…, Tina..”. Kami berdua tersentak. Kukeluarkan jemariku
dari vaginanya, Tina melepaskan kocokannya dan ia membenahi pakaian dan
rambutnya yang berantakan. Sambil mengancingkan kembali BH-nya ia keluar
dari kamarku menuju kamar Bapak tua itu. Sialan!, kepalaku terasa
pening. Begitulah penyakitku kalau libidoku tak tersalurkan.
Beberapa
saat lamanya aku menanti siapa tahu janda muda itu akan kembali ke
kamarku. Tapi nampaknya ia sibuk mengurus orang tua pikun itu, sampai
aku tertidur. Entah berapa lama aku terlelap, tiba-tiba aku merasa
napasku sesak. Dadaku serasa tertindih suatu beban yang berat. Aku
terbangun dan membuka mataku. Aku terbelalak, karena tampak sesosok
tubuh putih mulus telanjang bulat menindih tubuhku.
“Mbak Tina?”,
Tanyaku tergagap karena masih mengagumi keindahan tubuh mulus yang
berada di atas tubuhku. Lekukan pinggulnya terlihat landai, dan perutnya
terasa masih kencang. Buah dadanya yang lancip dan montok itu menindih
dadaku yang masih terbalut piyama itu. Seketika, rasa kantukku hilang.
Mbak Tina tersenyum simpul ketika tangannya memegang celanaku dan
merasakan betapa penisku sudah kembali menegang.
“Kita tuntaskan
ya Mbak?”, Kataku sambil menyambut kuluman lidahnya. Sambil dalam posisi
tertindih aku menanggalkan seluruh baju dan celanaku. Kegairahan yang
sempat terputus itu, mendadak kembali lagi dan terasa bahkan lebih
menggila. Kami berdua yang sudah dalam keadaan bugil saling meraba,
meremas, mencium, merintih dengan keganasan yang luar biasa. Mbak Tina
sudah tidak malu-malu lagi menggoyangkan pinggulnya di atas penisku
sehingga bergesekan dengan vaginanya.
Tidak lebih dari 5 menit,
aku merasakan bahwa nafsu syahwat kami sudah kembali berada dipuncak.
Aku tak ingin kehilangan momen lagi. Kubalikkan tubuh Tina, dan kutindih
sehingga keempukan buah dadanya terasa benar menempel di dadaku.
Perutku menggesek nikmat perutnya yang kencang, dan penisku yang sudah
sangat menegang itu bergesekan dengan vaginanya.
“Mbak.., buka
kakinya.., sekarang kamu akan merasakan sorganya dunia Mbak..”, bisikku
sambil mengangkangkan kedua pahanya. Sambil tersengal-sengal Tina
membuka pahanya selebar-lebarnya. Ia tersenyum manis dengan mata sayunya
yang penuh harap itu.
“Ayo Pak.., masukkan sekarang…”, Aku menempelkan kepala penisku yang
besar itu di mulut vagina Tina. Perlahan-lahan aku memasukkannya ke
dalam, semakin dalam, semakin dalam dan, “aa.., Aooohh.., paakh…..,
aahh..”, rintihnya sambil membelalakkan matanya ketika hampir seluruh
penisku kubenamkan ke dalam vaginanya. Setelah itu, “Blesss…”, dengan
sentakan yang kuat kubenamkan habis penisku diiringi jeritan erotisnya,
“Ahh.., besarnyah.., ennnakk ppaak..”.
Aku mulai memompakan
penisku keluar masuk, keluar masuk. Gerakanku makin cepat dan cepat.
Semakin cepat gerakanku, semakin keras jeritan Tina terdengar di
kamarku. Pinggul janda muda itu pun berputar-putar dengan cepat
mengikuti irama pompaanku. Kadang-kadang pinggulnya sampai
terangkat-angkat untuk mengimbangi kecepatan naik turunnya pinggulku.
Buah dadanya yang terlihat bulat dalam keadaan berbaring itu bergetar
dan bergoyang ke sana ke mari. Sungguh menggairahkan!
Tiba-tiba
aku merasakan pelukannya semakin mengeras. Terasa kuku-kukunya menancap
di punggungku. Otot-ototnya mulai menegang. Nafas perempuan itu juga
semakin cepat. Tiba-tiba tubuhnya mengejang, mulutnya terbuka, matanya
terpejam,dan alisnya merengut
“aahh..”. Tina menjerit panjang
seraya menjambak rambutku, dan penisku yang masih bergerak masuk keluar
itu terasa disiram oleh suatu cairan hangat.
Dari wajahnya yang
menyeringai, tampak janda muda itu tengah menghayati orgasmenya yang
mungkin sudah lama tidak pernah ia alami itu. Aku tidak mengendurkan
goyangan pinggulku, karena aku sedang berada di puncak kenikmatanku.
“Mbak..,
goyang terus Mbak.., aku juga mau keluar..”. Tina kembali menggoyang
pinggulnya dengan cepat dan beberapa detik kemudian, seluruh tubuhku
menegang.
“Keluarkan di dalam saja pak”, bisik Tina, “Aku masih pakai IUD”. Begitu Tina selesai berbisik, aku melenguh.
“Mbak.., aku keluar.., aku keluarr…., aahh..”, dan…, “Crat.., crat..,
craat”, kubenamkan penisku dalam-dalam di vagina perempuan itu.
Seakan mengerti, Tina mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi sehingga puncak kenikmatan ini terasa benar hingga ke tulang sumsumku.
Kami berdua terkulai lemas sambil memejamkan mata. Pikiran kami
melayang-layang entah ke mana. Tubuhku masih menindih tubuh montok Tina.
Kami berdua masih saling berpelukan dan akupun membayangkan hari-hari
penuh kenikmatan yang akan kualami sesudah itu di Bandung.
Sejak
kejadian malam itu, kesibukan di kantorku yang luar biasa membuatku
sering pulang larut malam. Kepenatanku selalu membuatku langsung
tertidur lelap. Kesibukan ini bahkan membuat aku jarang bisa
berkomunikasi dengan Tina. Walaupun begitu, sering juga aku
mempergunakan waktu makan siangku untuk mampir ke rumah dengan maksud
untuk melakukan seks during lunch. Sayang, di waktu tersebut ternyata
Ayah Anto senantiasa dalam keadaan bangun sehingga niatku tak pernah
kesampaian. Namun suatu hari aku cukup beruntung walaupun orang tua itu
tidak tidur. Aku mendapat apa yang kuinginkan. END
Comments
Post a Comment