Bandar Bola Terbaik - Nikmatnya Goyangan Hot Istri Seorang Pengusaha
Bandar Bola Terbaik - Nikmatnya Goyangan Hot Istri Seorang Pengusaha - Saya ingin menceritakan pengalaman seks saya dengan pelan agar para
pembaca bisa merasakan sensasi yang sangat terangsang dan bergairah.
sekarang saya sudah berumur 22 tahun.
Bandar Bola Terbaik - Seharian ini aku tidak
karuan bekerja, suntuk benar rasanya hari ini, seharian dimarahi melulu
sama boss karena kerjaanku salah terus, “Teeet…” bel pulang sudah
berbunyi, kesempatan ini tidak kusia-siakan, “langsung ngacir”. Sore itu
cuaca masih mendung karena sebelumnya hujan mengguyur dengan sangat
deras. Aku berjalan keluar halaman kantor, kulihat jalanan sebagian
tergenang air.
Aku berdiri di trotoar jalan menunggu angkutan
umum. Hari ini memang aku tidak naik motor karena motorku sedang ada di
bengkel. Entah kenapa hari ini aku sial terus dari rumah pas mau kerja
motorku mendadak ngadat tidak mau distater. Sial, mana hari ini aku
pagi-pagi sekali harus sudah menyerahkan laporan bulanan kepada boss.
Sial benar-benar sial.
Saat aku asik melamunkan kesialanku hari
ini, tanpa sadar tiba-tiba sebuah Baleno warna silver metalik melintas
di depanku dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba… “Craaassshh…!” air
genangan menyemprot ke seluruh tubuhku, mukaku, baju, celanaku semuanya
basah kuyup. Shiit, sekali lagi shiit, lengkap sudah kesialanku hari
ini. Aku memaki-maki tidak karuan. Tiba-tiba Baleno itu berhenti
beberapa puluh meter dari tempat aku berdiri dan langsung mundur menuju
ke arahku. “Cari penyakit,” gerutuku. Aku sudah bersiap-siap mau
mendampratnya jika orangnya keluar, paling tidak kumaki-maki dulu.
Urusan
maaf-memaafkan belakangan. Aku sudah bersiap-siap ketika pintu Baleno
itu terbuka, aku terkejut ketika sebuah kaki indah terbungkus sepatu
kets menapak di aspal yang basah. Sesaat kemudian munculah makhluk yang
menurutku sangat cantik. Tingginya kira-kira 165 cm, kulitnya putih,
kalau ditaksir-taksir umurnya sekitar 35-an, tetapi penampilannya modis
sehingga tidak terkesan dewasa, tapi yang paling menarik perhatianku
adalah bentuk bodinya yang sangat proporsional, “Gitar Spanyol Cing”.
Terbalut kaos ketat lengan cekak warna abu-abu dan legging warna hitam
selutut menambah tonjolan-tonjolan tubuhnya semakin nampak nyata,
sampai-sampai aku meneguk air liurku, “Glek.. glek,”.
“M.. ma’af Mas…” katanya menyadarkan aku dari kekagumanku.
“Oh oh… tidak pa.. pa..” sahutku (kok jadi aku yang gugup bathinku “).
“Maafkan saya Mas, saya tidak segaja.. lagi ngelamun jadi tidak sadar kalo ada orang,” ujarnya menjelaskan.
“Mas mau pulang..? tambahnya lagi.
“Ii.. iya…” jawabku.
“Oke.. sebagai pernyataan maaf saya, gimana kalo mas saya antar pulang.
Ayo mari masukMas!” pintanya tanpa menunggu persetujuanku.
Wah kesempatan yang tidak boleh kusia-siakan nih.
“Bagaimana ya…” kataku.
“Please… ” katanya.
Tanpa ba bi bu lagi aku langsung masuk ke Balenonya yang langsung meluncur.
“Ngomong-ngomong dari tadi kita belum kenalan, saya.. Conny,” katanya memecah kekakuan.
“Saya Irwan, Mbak,” timpalku.
Ternyata Mbak Conny enak diajak
ngomong tentang apa saja, orangnya supel. Dan sampai aku juga tahu bahwa
ia adalah istri kedua dari salah seorang pengusaha sukses yang
meninggal karena kecelakaan mobil setengah tahun lalu. Menurut dia
suaminya dibunuh karena persaingan dengan seteru bisnisnya.
“Maaf Mbak, kalau saya mengingatkan,” kataku.
“Tidak.. papa Wan,” sahutnya.
“Wan kamu tidak papa kan ke rumah Mbak dulu. Mandi dulu ya, nanti setelah itu baru kita ke rumah kamu gimana?”
“Terserah Mbak deh,” kataku mengiyakan.
Kami tiba di rumahnya di salah satu kawasan pemukiman elit yang terkenal. Wah ternyata rumahnya cukup besar dan asri.
“Masuk Wan!”
“Makasih Mbak.”
.”Wan kamu mandi dulu ya,” katanya sambil menunjukkan kamar mandi.
“Nanti Mbak siapkan pakaian untukmu, kan baju sama celana kamu basah, biar di cuci di sini saja, Mbak juga mau mandi dulu.”
Kulepas
semua pakaian sehingga sekarang aku sudah telanjang dan siap untuk
mandi. Iseng aku mengingat Mbak Conny yang aduhai tanpa sadar “si Jonny”
tiba-tiba mengeras. Aku membayangkan jika Mbak Conny mengatakan, “Wan,
maukah menyenangkan Mbak?” Kurasakan “si Jonny” semakin keras seiring
imajinasiku tentang Mbak Conny wajah cantiknya, kulit putihnya yang
halus mulus tanpa cacat, dua gunung kembarnya yang ukuran 34 dan
pantatnya yang besar. Kukocok-kocok batang kemaluanku, sementara
khayalanku dengan Mbak Conny semakin menjadi-jadi, dan tiba-tiba
“Cklok…” pintu dibuka, aku terkejut tanpa bisa berbuat apa-apa. Tadi aku
lupa mengunci pintu kamar mandi, ternyata Mbak Conny sudah berdiri di
hadapanku.
“Maaf Wan, aku lupa ngasih handuk ke kamu.”
“Oh iya Mbak,” kataku.
Mbak Conny tidak langsung pergi ia tertegun
melihatku telanjang bulat dan sekilas kulihat ia melirik batang
kemaluanku yang dari tadi sudah tegang. “Mbak mau mandi berdua
denganku?” tanyaku asal. Mbak Conny tidak menolak dan juga tidak
mengiyakan, naluri kelelakianku mulai jalan, kutarik lembut tangannya ke
dalam dan kukunci pintu kamar mandi, tanpa menunggu reaksinya lebih
lanjut kusentuh wajahnya dengan lembut, “Mbak cantik sekali,” aku mulai
melancarkan rayuan, “Masa sih Wan, Mbak kan sudah 30 lebih, kamu bisa
saja.”
Kucium pipinya dengan lembut lalu bergeser ke bibirnya yang
seksi. “Wan!” keluhnya lirih, “Mbak saya sangat mengagumi Mbak,”
bisikku lembut di telinganya, sambil kuletakkan tanganku melingkari
lehernya. Kembali kukecup lembut bibirnya, kali ini dia membalas dengan
hangat, beberapa saat adegan cium itu berlangsung, tanganku mulai
“bergerilya”, kuusap punggungnya, terus turun ke bawah, ke bagian
pantatnya, kurasakan bongkahannya masih sangat padat, kuremas-remas
dengan lembut. Kali ini ia yang melingkarkan tangannya ke pinggangku,
semakin erat, kurasakan gunung kembarnya menggencet dadaku kenyal dan
lembut kurasakan.
Kami semakin bernafsu, batang kemaluan yang
sudah dari tadi tegang tambah kurasakan berdenyut-denyut. Kurasakan aku
semakin terangsang, segera saja kubuka baju mandi Mbak Conny.
Terlihatlah pemandangan yang sangat indah, aku terdiam sejenak mengagumi
keindahan tersebut, kulihat payudaranya yang besar dan masih kencang.
Kutelusuri semua bagian tubuhnya tanpa ada bagian yang terlewatkan,
sampai pada “area kenikmatan” Mbak Conny. Aku semakin terangsang karena
pussy Mbak Conny mulus tanpa ditumbuhi bulu sedikitpun. Kali ini
langsung kuserbu payudaranya, kuraba-raba sambil terus kissing sambil
sesekali terdengar rintihannya, “Ohhh… Wan mhmmm…” kujilati kupingnya
terus menjalar ke leher, dada, dan sampai ke payudaranya, kujilat,
kumainkan putingnya dengan lidahku, aku semakin bernafsu.
“Waaan, ohhh…”
“Hmmm, Mbak… Mbak cantik sekali.”
Kali ini tangannya mulai
kurasakan lebih aktif, dirabanya punggungku turus turun ke pantatku
kemudian ke depan mencoba meraih batang kemaluanku dipegangnya dengan
lembut, dikocoknya pelan-pelan sambil berkata, “Wan, punyamu lumayan
besar juga. Mbak mau merasakannya Wan… ohhh,” kembali erangannya
terdengar karena aku masih sibuk memainkan pentil payudaranya dengan
ujung lidahku.
Mulai bosan dengan payudara, kuangkat badannya,
kududukkan ke pinggir bak air. Kembali aku menjilati perutnya,
kukukek-kucek liang pusatnya masih dengan ujung lidahku, terdengar
kembali erangannya lebih keras, “Ooouhhh… hmmm… ahhh…” mungkin Mbak
Conny sudah terangsang hebat. Keadaan ini tidak kubiarkan langsung
kuarahkan lidah ku ke arah belahan pussy tanpa bulu yang indah sekali,
tercium olehku bau khas kewanitaannya. Aku semakin bernafsu kujilati
pussy Mbak Conny yang sudah mulai basah dengan lendir kumainkan ujung
lidahku menelusuri setiap millimeter dari “benda enak gila” itu. Tubuh
Mbak Conny semakin terguncang hebat menikmati permainan lidahku,
nafasnya memburu, sudah tidak beraturan lagi sambil terus mengerang,
“Oouuussshhh aaahhh,” merintih tidak karuan keenakan.
Ujung
lidahku masih menempel pada benda enak milik Mbak Conny kali ini bagian
terakhir yang akan kugarap. Benda sebesar biji kacang yang terletak di
atas lubang pussy-nya. Hoooaah, hmmm hhhh ooouuhhh, Wan terus sayang
terus… terus… Ouuhh uuhhh terus…” Kali ini Mbak Conny pasti hampir
mencapai puncak gunung kenikmatannya, dan aku terus saja memainkan
lidahku dengan ganas di liang pussy-nya yang semakin banjir oleh cairan
kewanitaannya yang nikmat di lidahku. Sampai suatu saat ia menjabak
rambutku, dan menekan kepalaku ke selangkangannya seakan-akan jangan
sampai lepas. “Ooouuhn mmm ohhh.. ohhh, Wan terus Wan… Mbak mau
keluarrhh…” sampai suatu sentakan hebat akibat kontraksi otot-otot
badannya yang menegang. “Waaan Mbak keluaaar hhh…”
Beberapa saat badannya masih tersengal-sengal, sambil berkata padaku,
“Wan
makasih, kamu hebat, Mbak sudah lama tidak merasakannya sejak suami
Mbak meninggal.” “Sama-sama Mbak, saya juga sangat menikmatinya, saya
suka sama Mbak,” ujarku.
“Kali ini giliran kamu ya, Wan. Sekarang kamu duduk di pinggir sini,” katanya.
Di
kecupnya bibirku, dilumatnya, lidahnya sengaja dimasukkannya menjalari
seluruh rongga mulutku sambil sesekali menghisap lidahku, kali ini aku
sedikit tidak menguasai keadaan, tangan Mbak Conny masih terus memegang
batang kemaluanku sambil terus mengocoknya,
“Ooohhh…” kali ini aku yang dibuatnya mengeluarkan suara keenakan.
Ah,
lidahnya sudah hampir di puting susuku, dimainkannya lidahnya yang
membuat sensasi tersendiri. “Aahhh… enak gila,” sambil terus mengocok
batang kemaluanku. Mbak Conny terus menjilati bagian tubuhku sampai
akhirnya dia menjilati kepala kemaluan. Dia terus memainkan lidahnya
menjilati, kepalanya, batangnya, biji kemaluan tidak luput dari sasaran
lidahnya. “Ahhh, Mbak… enak Mbak ahhh…” Mendengar rintihanku dia
memasukkan batang kemaluanku ke dalam mulutnya, “Ooh… terus Mbak…”
pintaku.
Turun-naik kepalanya mengisap batang kemaluanku sampai
keadaan dimana aku merasakan kejang dan batang kemalaunku
berdenyut-denyut sangat hebat, “Ooohhh… ohhh… aku hampir keluar Mbak…”
Semakin ganas kepalanya turun-naik, semakin mempercepat kocokan dan
sedotannya dan… “Crooot… crooot… croot…” batang kemaluanku memuntahkan
sperma ke dalam mulut Mbak Conny dan dengan bernafsu ditelannya sperma
tersebut dan sisanya dijilatnya sampai bersih.
“Makasih Mbak,” kataku.
“Sama-sama Wan,” katanya dengan lembut.
“Oke sekarang kita mandi dulu biar segar dan kita ulangi lagi nanti ya di kamar.”
Aku
masih mengenakan handuk yang dililitkan ketika Mbak Conny datang
membawa segelas susu coklat hangat dan memberikannya kepadaku.
“Minum dulu sayang, biar tambah segar.”
Kuseruput coklat hangat, “Aaahhh…” kurasakan kehangatan menjalari tubuhku dan kurasakan kesegaran kembali.
Kami
berciuman kembali, Mbak Conny tampak sangat menikmati ciumanku ini,
matanya terpejam, nafasnya mendesah, dan bibirnya dengan lembut mengecup
sambil sesekali menghisap bibir dan lidahku, jari jemari lentik guruku
itu mulai bergerak turun menyusup ke balik handukku menuju buah
pantatku. Batang kemaluanku yang hanya ditutupi handuk kecil itu segera
berdiri tegang. Bagian bawah kepala kemaluanku itupun langsung tergencet
oleh perut Mbak Conny yang langsung menyalurkan getaran-getaran
kenikmatan ke seluruh urat syarafku.
Jari-jemarinya mulai meraba
kedua buah pantatku. Mula-mula rabaannya melingkar perlahan, makin
cepat, makin cepat, sampai akhirnya dengan suara mendesah,
diremas-remasnya dengan penuh nafsu. Aku mencium dan menjilati telinga
Mbak Conny, sehingga membuat tubuh janda cantik itu
menggelinjang-gelinjang, “Ohhh Wan… gelii… sss…” Kuturunkan bibirku dari
kuping menelusuri leher, terus turun ke dada, jari jemarinya pun terasa
semakin keras meremas-remas pantatku.
Seraya mengecupi areal
dadanya, jemariku membuka satu persatu kancing seragam kebanggaannya itu
hingga terlihat belahan payudaranya yang besar menyembul dari balik
baju mandinya. Bentuknya menghadap ke atas dengan puting yang langsung
mengarah ke mukaku. Amboi seksinya, tanpa membuang waktu kulahap
payudara itu dengan gemas. Kusedot-sedot dan kujilati putingnya yang
sudah menegang itu. Tiba-tiba tangan kanan Mbak Conny berputar ke arah
depan. Dengan sekali sentak maka terjatuhlah penutup satu-satunya
tubuhku itu.
Kulirik kaca lemarinya, di sana terlihat badan
tegapku yang bugil tengah menunduk menghisap payudara wanita berbadan
montok yang masih dibalut pakaian mandinya. Dari kaca riasnya kulihat
Mbak Conny mengalihkan tangan kanannya ke arah selangkanganku dan…
“Slepp!” dalam sekejap batang kemaluanku sudah berada dalam
genggamannya. Dengan lembut dan penuh perasaan ia mulai mengocok batang
kemaluanku ke atas.. ke bawah.. ke atas.. ke bawah. Uff… tak bisa
kuceritakan nikmat yang kurasakan di selangkanganku itu. Apalagi ketika
sesekali ia menghentikan kocokannya dan mengarahkan jempolnya ke urat
yang terletak di bawah kepala batang kemaluanku.
“Aaahhh… Mbaak… aaahh…” aku hanya bisa mengerang keenakan seraya terus mengecup dan menjilati payudaranya. Tiba-tiba Mbak
Conny
mendorong tubuhku hingga terduduk di atas ranjang busanya dan ia
sendiri kemudian berlutut dihadapan selangkanganku. Ia menengadahkan
kepalanya dan menatap mataku dengan pandangan penuh nafsu.
Bersamaan
dengan itu, ia menciumi kepala batang kemaluanku, kemudian menjilati
lubang penisku yang sudah dipenuhi dengan cairan lengket berwarna
bening. Tiba-tiba ia memasukkan penisku ke dalam mulutnya dan apa yang
kurasakan berikutnya adalah kenikmatan yang tak terlukiskan. Mbak Conny
memasukkan dan mengeluarkan penisku di dalam mulutnya dengan gerakan
yang cepat sambil menggoyang-goyangkan lidahnya sehingga menggesek urat
bawah kepala penisku itu. “Aaahhh… ouuhhh… Mbak! aakh… ouhhh…” aku hanya
bisa terduduk sambil mengerang nikmat dan Mbak Conny tampak begitu
menikmati kemaluanku yang berada di dalam mulutnya, sampai-sampai ia
memejamkan matanya.
Tangan kiriku kembali meremas-remas payudara Mbak Conny sedangkan tangan kananku menyentuh bagian bawah buah pantatnya.
“Mmmh.. mmmhh…emmhhh…” rintihnya sambil terus mengulum batang kemaluanku ketika kuraba-raba lubang kemaluannya. Mbak
Conny
semakin memperkuat sedotannya sehingga memaksaku untuk semakin
mengerang tak keruan, seakan tak mau kalah, kumasukkan tanganku ke
selangkangannya dari arah perut, dan dengan mudah jemariku mencapai
vagina yang sudah sangat basah itu.
Dalam 3 detik jariku menyentuh sebuah daging sebesar kacang yang sudah
menonjol keluar di bagian atas vagina Mbak Conny, jari tengah dan
telunjukku segera mengocok “kacangnya” dengan cepat. “Mmmhh.. mmmhhh…
aaahhh…” Mbak Conny melepaskan penisku dari mulutnya untuk berteriak
histeris menikmati kocokanku di klitorisnya.
Sekitar 5 menit kami
saling mengocok, meremas, dan menghisap diikuti dengan gelinjangan dan
jeritan-jeritan histeris, ketika tiba-tiba Mbak Conny menengadahkan
mukanya ke arahku dan merintih, “Wan.. please sekarang…” Tanpa menunggu
kata-kata selanjutnya kuangkat tubuh janda cantik itu dari posisi
berlututnya. Kusuruh dia meletakkan kedua tangannya di atas meja
menghadap cermin rias sehingga Mbak Conny kini berada dalam posisi
menungging. Tampak buah dadanya bergelayut seakan menantang untuk
diperah. Kurenggangkan kedua kaki mulusnya, kugosok-gosokkan penisku di
belahan pantatnya sebelum kuturunkan menelusuri tulang ekornya, anus dan
kutempelkan di pintu belakang vaginanya.
Perlahan-lahan
kusodokkan penisku ke dalam vagina kecil yang sudah sangat banjir itu,
“Aaahhh…” Mbak Conny menggigit bibirnya menikmati senti demi senti
penisku yang tengah memasuki vaginanya, semakin dalam kumasukkan batang
kemaluanku dan semakin dalam… “Ooohhh Wan… ooohhh…” dan… “Aaaakhh…”
jeritnya ketika dengan keras kusodokkan penisku sedalam-dalamnya di
vagina janda cantik itu. Tampak janda cantik itu masih menggigit
bibirnya menikmati besarnya batang kemaluanku yang terbenam penuh di
dalam vaginanya. Dengan segera kupompakan kemaluanku dengan cepat dari
arah belakang. Kutempelkan perut dan dadaku di punggung perempuan itu
dan kedua tanganku dengan keras meremas-remas dan memelintir kedua
puting buah dada Mbak Conny yang sudah sangat keras itu.
“Ohhh…
ohh… ouuhhh…” Tiba-tiba Mbak Conny mengangkat kepala dan badannya ke
arahku dengan menengok ke arah kiri dan menjulurkan lidahnya. Dengan
cepat kusambut lidah yang menggairahkan itu dengan lidahku dan kami pun
berciuman dengan posisi
Mbak Conny yang tetap membelakangiku.
Karena ia menegakkan badannya, Mbak Conny menaikkan kaki kirinya ke atas
meja riasnya untuk memudahkan aku terus menyodokkan batang kemaluanku.
Sambil
terus melumat bibirnya dan menyodok, tanganku kembali meremas-remas
kedua payudaranya. Tangan kiri Mbak Conny menjambak rambut di belakang
kepalaku untuk mempererat tautan bibir kami. Ketiaknya menyebarkan wangi
khas yang membuatku semakin bernafsu lagi. Tiba-tiba Mbak Conny
merintih-rintih sambil terus mengulum lidahku. Tampak alisnya mengerut,
wajahnya mengekspresikan seakan-akan kenikmatan yang amat sangat
menjalari seluruh tubuhnya, ia dengan cepat membimbing tangan kananku
yang masih asyik meremas payudaranya untuk kembali memainkan kacangnya.
Goyangan
pinggulnya menjadi semakin cepat tak terkendali, dinding vagina mulai
terasa berdenyut-denyut, tiba-tiba… “Aaahhh aaahhh oouuhhh… Wan… Mbak
keluaaarrr… aaahhh…”
Malam itu beberapa kali aku dan Mbak Conny
mengulangi “gulat gaya bebas” itu sampai akhirnya kami sama-sama
tertidur kecapaian. Aku segera terbangun ketika menyadari ada seberkas
sinar yang menerpa wajahku. Aku segera menyadari bahwa aku berada di
rumah Mbak Conny. Dan ia sudah bangun dan tidak berada di kamar ini
lagi, kulihat jam dinding menunjukkan pukul 10.00 dan lagi-lagi… oh
shiit, aku terlambat masuk kantor. Sial, lagi-lagi sial. END
Comments
Post a Comment