Bandar Bola Online - Menikmati Service Janda Desa Montok
Bandar Bola Online - Menikmati Service Janda Desa Montok - Mobil hardtop tua milik temanku berjalan agak tersendat dimedan yg becek
dan agak berlumpur dikawasan pedesaan sekitar kabupaten bogor, hampir 3
jam kami menempuh perjalanan dari Jakarta menuju ketempat yg menurut
herman, temanku ini, adalah tempatnya mojang-mojang cantik sebagai teman
akhir pekan. “ Gila lu her, ini sih tempat jin buang anak..” ujarku
kepada herman yg memegang kemudi. “ Tenang aja hen, bentar lagi juga
nyampe..pokoknya lu kalo udah kesini bakalan ketagian, barangnya bagus-
bagus, masih orisinil…” ujarnya meyakinkan, sambil pandangannya tetap
tertuju pada jalan becek diperkampungan yg telah mernyerupai medan
offroad itu.
Bandar Bola Online - Aku sebetulnya ikut ketempat inipun karna ajakan temanku
ini, yg menurutnya sudah sekitar enam bulan lebih “malang- melintang”
mencari hiburan dikawasan ini, yg berdasarkan ceritanya konon didesa X
yg akan kami tuju ini banyak terdapat janda-janda yg bisa diajak kencan,
dan yg menariknya, kita bisa dengan leluasa bermalam dirumah wanita itu
layaknya suami istri, dan tanpa kawatir ada pihak yg usil, baik orang
tuanya, tetangga, ataupun masyarakat sekitar, menurutnya didesa itu hal
seperti itu adalah lumrah adanya, dan masih menurut cerita temanku ini,
bahwa wanita- wanita disana itu bukanlah sejenis pelacur-pelacur yg
biasa menjajakan diri secara professional seperti di jakarta, jadi
kesimpulannya masih belum banyak dijamah oleh lelaki- lelaki hidung
belang.
“ Pokoknya masih orisinil lah.. cukup cuma kita bayar 300
ribu untuk sehari semalam, mereka sudah senang, mereka itu janda-janda
yg enggak punya penghasilan hen, jadi mereka senang kalo ada orang
seperti kita ini yg berkunjung, pokoknya kalo lu enggak percaya entar
elu buktiin sendiri lah… itung-itung membantu perekonomian mereka hen..
ingat kata pak ustad, kita harus membantu janda-janda yg membutuhkan
uluran tangan kita ha..ha..ha..” itu kata temanku waktu membujukku untuk
ikut bersamanya. Tertarik juga aku mendengar penjelasannya itu, kalau
dipikir-pikir dengan uang 300 ribu kita bisa bebas “nancep” sehari
semalam, bandingkan kalau kita memboking PSK di Jakarta, paling tidak
500ribu semalam, itupun belum termasuk hotel, minimal kita musti merogoh
kocek sekitar 700 ribu untuk satu malam, dan yg pasti “barangnya” sudah
pernah dipakai oleh berpuluh-puluh bahkan beratus- ratus lelaki, itu yg
menjadi pertimbanganku, dan sebagai seorang bujangan berusia 28 tahun,
yg berpenghasilan hanya tak lebih dari 5 juta sebulan, tentu aku harus
pandai- pandai mempertimbangkan segala hal secara ekonomis, termasuk
dana untuk memenuhi kebutuhan biologis. Tak beberapa lama kemudian
akhirnya kami tiba juga dirumah “gacoan” temanku itu, rumah yg sederhana
dengan dinding yg separuh tembok dan sebagiannya lagi merupakan papan
kayu yg disusun sedemikian rupa sebagaimana rumah kebanyakan didesa itu,
bahkan sebagian rumah lain masih ada yg kondisinya jauh lebih
memprihatinkan, untuk peneranganpun tak semua penduduk disini
menggunakan listrik, sebagian masih menggunakan lampu teplok kecil
sekedar untuk menerangi rumah, dan jalan disinipun hampir seluruhnya
masih jalan tanah tanpa aspal, sehingga pada saat musim hujan seperti
ini jalan-jalan tersebut persis menyerupai kubangan kerbau, ironis
memang, sebuah kawasan yg sebetulnya masih termasuk dalam wilayah
jabotabek, yg kata orang adalah termasuk kawasan yg lebih maju dibanding
wilayah lain dipulau jawa, tetapi mengapa disini sepertinya tak
terjangkau oleh pembangunan, ah.. peduli amat, pikirku, toh tujuanku
kesini hanya untuk bersenang-senang seperti yg dijanjikan oleh temanku
ini.
Akhirnya kami turun dari mobil, didepan rumah tampak berdiri
seorang wanita muda yg usianya aku taksir sekitar 22 tahun, wajah cukup
cantik dengan kulit kuning langsat dengan body yg cukup proporsional,
dan tentunya enak dilihat, bahkan bisa dibilang seksi, mengingatkan aku
pada artis-artis dangdut ibu kota, mungkin wanita ini yg membuat temanku
itu begitu tergila-gila, benar-benar kembang desa pikirku, pantas dia
rela jauh-jauh datang kesini. “ Ayo masuk mas..mangga..” ujar wanita itu
mempersilahkan kami untuk masuk. “ Kenalkan is, ini teman mas, namanya
hendi..panggil saja mas hendi..” ujar herman. “ Saya Euis..” ujar wanita
itu memperkenalkan diri. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar, ditemani
segelas kopi yg disuguhkan oleh euis, herman mulai menyinggung soal
maksud dan tujuanku kesini. “ Begini is, mas hendi ini pingin juga punya
temen disini, ngomong- ngomong ada enggak temen kamu disekitar sini yg
bisa “digoyang”.. tapi yg begini lho..” ujar herman sambil mengacungkan
ibu jarinya. “ Mmm.. ada mas, masih muda lagi, baru sebulan cerai dari
lakinya.. waktu itu sih dia pernah ngobrol-ngobrol sama saya, katanya
dia minta tolong untuk dikenalin kalau ada cowok dari Jakarta, saya sih
cuma mau nolong saja sama temen, kasian mas, dia butuh duit, maklumlah
baru jadi janda, gak punya penghasilan, nanti saya panggil dia kesini..
tapi kalau mas hendi enggak cocok enggak apa-apa nanti bisa saya carikan
yg lain..” ujar euis, seraya tak lama kemudian dia keluar rumah untuk
memanggil temannya itu, dalam hatiku mengapa enggak ditelpon saja, yg
akhirnya kemudian baru aku tau kalau wanita yg akan dijemput euis itu
tidak memiliki pesawat telpon atau ponsel.
Sekitar setengah jam
kemudian euis datang, kali ini bersama dengan seorang wanita muda,
kutaksir usianya sekitar 18 atau 19 tahun, dengan wajah cantik, hidung
mancung, kulit kuning langsat cenderung putih, tinggi sekitar 160cm,
tidak terlalu gemuk juga tidak terlalu kurus, bodynyapun cukup menawan,
dengan bokong yg bulat dibalut oleh celana ketat selutut, sehingga
memperlihatkan betisnya yg begitu bening, ternyata ada juga wanita
seperti ini didesa terpencil seperti ini, mungkin inilah wanita yg
dimaksud itu, semoga saja, pikirku, tapi apa iya wanita semuda ini sudah
menjadi janda. “ Ini temen euis yg dimaksud mas.. ayo kenalan dulu mas,
jangan malu-malu atuh..koq jadi bengong begitu..” ujar euis kepadaku
disaat pandanganku masih terpaku dengan wanita yg baru saja hadir itu. “
Oh iya.. saya hendi..” sambil aku mengulurkan tanganku untuk berjabat
tangan “ Saya lilis mas..” balas wanita itu sambil membalas uluran
tanganku sehingga kami berjabatan tangan, tangan yg terlihat putih dan
halus itu ternyata kurasakan telapak tangannya agak kasar mungkin karna
keadaan sehingga mengharuskan wanita secantik ini melakukan pekerjaan
kasar, pikirku. Setelah kami berbincang-bincang sebentar sekedar
berbasa-basi, akhirnya euis menanyakan kepadaku. “ Gimana mas hendi, mau
main kerumah lilis enggak? “ Tanya euis sambil tersenyum, sebuah
pertanyaan yg sebetulnya bisa diartikan sebagai permintaan kepastian
apakah aku tertarik pada lilis atau tidak, dan dari senyumnya itu aku
rasa euis sudah dapat menebak jawabanku. “ Yah, saya sih oke..oke..
saja” jawabku mencoba untuk santai, agar tidak terlihat terlalu bernafsu
“ Ya udah kalo begitu tunggu apalagi.. langsung sana..” ujar herman,
sepertinya meminta agar aku cepat- cepat meninggalkannya, mungkin sudah
tidak sabar dia untuk cepat- cepat ingin berasik masuk dengan pujaan
hatinya itu.
Akhirnya aku dan lilis berjalan kaki menuju
kerumahnya, rumah lilis ternyata lebih terisolir lagi, bagaimana tidak
aku katakan terisolir, untuk mencapainya saja kami harus menyebrangi
sungai, potong jalan biar lebih cepat, begitu alasan lilis, beruntung
airnya tidak terlalu dalam, namun arusnya cukup deras, sesekali lilis
membantu menuntun tanganku disaat kami menapaki bebatuan sungai, agak
malu juga aku sebagai seorang laki-laki yg harus dituntun oleh seorang
wanita, tapi wajarlah aku pikir, toh aku belum pernah melalui medan yg
seperti itu, sedangkan dia memang sudah menjadi kesehariannya,
terpaksalah aku mengikuti tuntunannya, daripada nanti aku salah langkah
dan jatuh terpeleset. Lepas dari menyebrangi sungai, kini kami menyusuri
pematang sawah yg lebarnya tak lebih hanya sekitar 30 cm, namun entah
mengapa aku menyukai perjalanan seperti itu, terlepas karna aku bersama
dengan wanita cantik disampingku, suasana alam pedesaan itu memang aku
suka, bebas dari kebisingan suara kendaraan, bebas dari polusi udara
dari asap kendaraan, dan bebas dari carut marutnya suasana kota Jakarta
yg semakin hari kian sumpek dan tak karuan. Disini aku rasakan alam
memainkan perannya dengan semestinya, tidak seperti yg aku saksikan
dijakarta, seolah alam telah diperkosa oleh berbagai macam kepentingan,
sehingga alam tidak bisa lagi memainkan perannya secara lami. Berbeda
dengan yg aku rasakan didesa ini, semua aku rasakan berjalan secara
natural, seperti burung-burung kecil yg beterbangan diantara padi-padi
yg mulai menguning, atau kupu-kupu yg berpindahan dari satu bunga
kebunga lainnya, atau bila aku melihat kebawah, disepanjang tepi
pematang terdapat selokan kecil yg airnya jernih, sehingga tampak jelas
sekumpulan ikan kecil yg berenang sambil menyodok-nyodokan mulutnya pada
tumbuhan lumut untuk dimakannya, suatu keindahan yg alami pikirku,
sealami keindahan dan kecantikan lilis, ya, lilis kuakui adalah wanita
yg memiliki kecantikan dan keindahan yg alami, atau yg seperti dikatakan
herman “orisinil”, bukan karna polesan kosmetik atau kepiawaian seorang
ahli kecantikan dalam polesannya, apalagi oprasi hidung, mata, dagu,
suntik silicon, sedot lemak, bleacing atau apalah namanya itu semua, yg
akhir-akhir ini rela dilakukan oleh beberapa wanita di ibukota demi
untuk kesempurnaan penampilannya, walaupun dengan segala resiko yg harus
mereka tanggung.
Seperti halnya lilis dan euis, wanita- wanita
didesa ini menjalani hidupnya secara alami dan hanya mengikuti alurnya,
dalam artian mulai dari mereka lahir, lalu tumbuh menjadi gadis remaja
dan menemukan jodohnya. Dan dalam menentukan jodohpun mereka tak terlalu
berpikir sedemikian jlimet dengan mempertimbangkan bibit,bobot dan
bebet. Asal mereka laku dan ada pria yg bersedia menjadi suaminya, meski
usia mereka masih 16 atau 17 tahun mereka akan kawin, kawin adalah
suatu kehormatan ketimbang menjadi perawan tua, begitu pikir mereka.
namun akhirnya seiring jalannya waktu dan terdorong oleh berbagai
kebutuhan akhirnya terjadilah perceraian, bagaimana tidak sebagai
seorang suami yg tanpa pekerjaan tetap, dan hanya luntang lantung, satu
tahun mungkin masih bertahan, namun selanjutnya, bubar jalan, dan
“terciptalah” janda, janda muda tentunya. Namun juga sebaliknya, apabila
sisuami itu sukses secara ekonomi, biasanya mereka cenderung untuk
ingin kawin lagi, mungkin merasa secara ekonomi dia sanggup menghidupi
lebih dari seorang istri, yg akhirnya itupun menjadi masalah, karna
sebagian besar wanita tak sudi untuk dimadu, dan akhirnya dia lebih
memilih untuk diceraikan, dan lagi terciptalah janda. Akhirnya kami tiba
ditepi empang yg tak seberapa luas, sesekali tampak beberapa ekor ikan
muncul kepermukaan untuk kemudian masuk kembali kedalam air kolam yg
agak kehijauan itu. diatas empang itu terdapat rumah yg tak jauh berbeda
dengan rumah euis, yg ternyata adalah rumah orang tua lilis, kemudian
kami menuju kerumah itu dengan jalan yg agak mendaki, ternyata rumah itu
memiliki halaman yg cukup luas, yg disalah satu sudut halaman itu
terdapat semacam bangunan yg tidak permanen dengan menggunakan tiang
bambu dan beratapkan daun kelapa yg sekedar untuk melindungi dari
terpaan panas matahari bagi seorang wanita dengan kepala dan wajah
tertutup oleh kain, menggunakan baju kaos lengan panjang yg agak lusuh
dengan bawahannya dibalut kain sarung, ditangan wanita itu memegang palu
yg dengan sigapnya dihantamkan pada bongkahan batu kali yg besar,
rupanya wanita itu sedang memecahkan batu kali untuk dipecahkan menjadi
kecil- kecil sebagai bahan bangunan, yg kemudian aku ketahui bahwa itu
adalah ibunya lilis, yg mendapatkan penghasilan dari memecahkan batu
kali yg didrop oleh pengepul dgn masih dalam bentuk bongkahan batu yg
besar-besar, untuk kemudian dipecah menjadi beberapa bagian kecil, dan
untuk pekerjaan itu, ibu lilis memperoleh upah dengan hitungan
perkubiknya, entahlah berapa ribu rupiah upah yg didapat untuk setiap
kubiknya, yg pasti tidaklah besar, dan selama ini pula lilis pun ikut
membantu sang ibu dalam pekerjaannya itu, dari situlah baru aku paham
mengapa telapak tangan lilis begitu kasar.
“ Mih, ini temen
lilis.. dari Jakarta..” ujar lilis, agak berteriak, mendengar itu
perempuan yg sedang asik dengan pekerjaannya itu berhenti sejenak.
Mangga.. silahkan masuk jang..” ujar ibu lilis, seraya kembali tangannya
diayunkan untuk menghantamkan palunya kepada bongkahan batu yg hendak
dipecahkannya. Akhirnya kami masuk kerumah lilis, diteras tampak seorang
pria setengah baya agak kurus, duduk sambil menikmati sebatang rokok,
yg kemudian aku tau bahwa itu adalah ayahnya lilis. “ Mangga jang,
silahkan masuk.. maaf berantakan, maklumlah dikampung..” ujarnya ramah,
seraya menyodorkan tangannya kearahku untuk bersalaman. Aku duduk
diruang tengah sambil menikmati segelas kopi yg disuguhkan lilis,
sementara lilis menemaniku dengan duduk tepat disampingku. “ Mas hendi
mau mandi dulu?, biar seger mas..” tawar lilis, yg langsung aku iyakan,
karna memang terasa lengket sekali badanku oleh keringat. Seusai mandi
kembali aku duduk ditempat yg sama, kemudian lilis meninggalkan aku,
juga untuk pergi mandi. Beberapa menit kemudian lilis muncul, kali ini
dengan mengenakan daster tanpa lengan yg agak tipis, cantik sekali aku
lihat lilis saat itu, membuatku agak sedikit terpukau, sebelum dia
menawarkan untuk istirahat dikamarnya. “ Mas, ayu kita istirahat dikamar
aja.. nanti mas saya pijitin, keliatannya mas hendi capak ya..?” ujar
lilis. “ Oh iya, boleh..” jawabku agak gugup, seraya aku ikuti lilis yg
berjalan menuju kamarnya. Kamar yg sederhana namun cukup bersih,
terdapat jendela yg menghadap kearah empang, dari jendela itu kulihat
ayah lilis sedang menaburkan sesuatu kedalam empang, mungkin pakan ikan,
yg kemudian aku tau bahwa empang itulah yg menjadi sumber mata
pencaharian keluarga lilis, menurutnya sekitar 3 bulan sekali ikan-ikan
itu siap untuk dipanen, bersamaan dengan itu pula tengkulak-tengkulak
datang untuk mengangkut seluruh ikan-ikan yg sudah siap dipasarkan itu,
menurut lilis pula bahwa hasil dari ternak ikan itu juga tak seberapa
besar, tidak cukup untuk biaya hidup 2 bulan, jadi untuk menutup
kebutuhan yg satu bulan lagi, mereka mengandalkan upah dari memecah batu
yg dilakukan oleh ibu lilis dan dibantu oleh lilis sendiri, menurutnya
ayah lilis sudah tidak lagi mampu untuk melakukan pekerjaan yg berat,
disebabkan dulu waktu ayah lilis masih bekerja dijakarta sebagai pekerja
bangunan, pernah mengalami kecelakaan kerja yg menyebabkan beberapa
tulangnya patah dan tidak bisa difungsikan lagi secara sempurna, dan
bukan hanya itu, ada beberapa saraf-saraf ayah lilis yg tak lagi dapat
berfungsi secara normal, beruntung sampai saat ini masih dapat bertahan
hidup walaupun dengan kondisi yg seperti itu.
“ Mas hendi bajunya
dibuka aja, biar lilis enak mijitnya…” ujar lilis, seraya kuturuti
sarannya itu, kubuka pakaianku sehingga hanya menyisakan celana dalamku
saja, aku tak sungkan, toh lilis pun sudah mengerti apa maksud
kedatanganku kesini. Lalu kubaringkan tubuhku telungkup diatas ranjang
itu, lilis duduk disampingku seraya telapak tangannya mulai membalurkan
cairan baby oil keseluruh punggungku, terasa kasar telapak tangan lilis
dipunggungku, tapi itu sama sekali tak menggangguku, justru ada sensasi
tersendiri yg kurasakan. Kemudian lilis mulai memijit, diawali dari
belakang leherku kemudian pundak, cukup bertenaga kurasakan pijitan
tangan lilis, serasa sampai kesendi-sendi tulangku. “ Terlalu keras
enggak mas..?” Tanya lilis “ Enggak apa-apa lis, mantep malah..biar
pegel-pegelku cepet hilang..” jawabku “ Tangan lilis kasar ya mas..?
maklum mas, soalnya lilis suka bantuin emak mecahin batu kali..yah mau
gimana lagi mas, emang sudah keharusan..” ujar lilis, nadanya terdengar
seperti menyesali. “ Enggak apa-apa lis, malah enak, kayak ada rasa
geli-gelinya gitu he..he..he..” jawabku “ Ah si mas bisa aja..” kali ini
kulihat wajahnya tersenyum Kini tangan lilis mulai memijit area pahaku,
lalu tangan itu terus merayap lebih keatas hingga nyaris kearah
selangkanganku, uh..nikmatnya , batang zakarku kurasakan mulai berdiri,
dan rupanya lilis paham dengan apa yg aku rasakan, semakin agresif
selangkanganku dipijitnya hingga sedikit menyentuh pada testisku, geli
kurasakan sampai- sampai pantatku agak kunaikan keatas, kulirik kearah
lilis, kulihat dia tersenyum, manis sekali senyumnya, pikirku. “ Mas,
sekarang telentang aja, biar lis pijit depannya..” ujar lilis, yg segera
aku turuti. Kini posisiku telentang menghadap kelangit-langit kamar,
kulihat lilis tersenyum saat matanya tertuju pada celana dalamku yg
ternyata saat itu batang kontolku berdiri, sehingga terlihat mengacung
dibalik celana dalamku . agak malu juga aku, ah tapi setelah kupikir,
mengapa mesti malu, toh lilis pun sudah paham.
Kini lilis
membaluri pahaku dengan baby oil, diratakannya sejenak keseluruh area
pahaku, barulah kemudian mulai memijit pahaku, tak beberapa lama kembali
lilis memijit kearah selangkanganku, punggung tangannya
menyentuh-nyentuh biji pelirku menambah tegang batang kontolku sehingga
tambah mengacung tegak. “ Sempaknya dibuka aja ya mas..? ujar lilis
setengah berbisik, yg aku jawab dengan mengangguk. “ Iiihh.. gede amat
mas, dulu mantan suami lilis mah enggak segede gini, hi..hi..hi..” ujar
lilis sedikit terkejut saat melepas celana dalamku “ Emang segede mana
lis..? “ tanyaku “ Lebih kecil mas, paling cuma separuhnya..” jawabnya
sambil tangannya mengurut-urut dengan lembut batang kontolku. “ Kurang
nikmat ya mas, kalo dikocok pakai tangan lilis, soalnya tangan lilis
kasar..” ujar lilis, memang sih, terasa seperti digosok-gosok benda
kasar rasanya batang kontolku, namun sebetulnya menurutku oke-oke saja,
cukup nikmat, baby oil yg membaluri batang kontolku cukup membantu
menambah licin kocokan tangan lilis. “ Lilis kocokin pakai mulut lilis
aja ya mas..? pasti enggak kasar deh..” ujar lilis sambil sedikit
menundukan kepalanya kearah wajahku, kurasakan udara dari nafasnya yg
hangat dipipiku. “ Boleh lis, siapa takut..” ujarku, lalu dielapnya
sebentar batang kontolku dengan menggunakan dasternya, mungkin
dimaksudkan untuk menyeka sisa-sisa baby oil yg melekat pada batang
kontolku. Kini lilis mulai menjilati kontolku, digelitik-gelitiknya
dengan lembut batang kontolku dengan menggunakan ujung lidahnya, nikmat
kurasakan hingga kupejamkan mataku sejenak, lalu lidah itu menjalar
menuju biji pilirku, kali ini dikulum dan diemut biji pelirku dengan
mulutnya, tak lama kemudian kembali lidah itu menyapu kebatang kontolku,
lalu menggelitik kepala kontolku, betapa ngilu aku rasakan terutama
saat ujung lidahnya menjilti lubang kencingku. “ Gimana mas, mulut lilis
enggak kasar kan..? “ ujarnya sambil tersenyum “ Enggak lis, lembut,
enak..terusin lis..aaaahhhhhh…” Nikmat kurasakan jilatan lidah lilis
menyapu diseluruh area batang kontolku, bahkan kali ini mulai dikulum
batang kontolku dan dikocokannya naik turun dengan mulutnya. Sambil
mengulum batang kontolku sesekali tatapan lilis tertuju padaku mungkin
ingin mengetahui reaksiku saat menikmati hisapannya. Semakin lama
semakin dahsyat mulut lilis mengulum kontolku, serasa hampir ditelannya
seluruh batang kontolku hingga menyentuh kerongkongannya, air liur mulai
banyak menetes disela-sela bibirnya sehingga menimbulkan bunyi yg
gemelocok saat mulutnyaa mengocok turun naik ghlokk..ghlokk..ghlokk..
suara yg terdengar begitu merangsang bagiku, menambah gairahku semakin
besar.
Tak tahan aku melihat lilis yg sedang mengoral batang
kontolku sedemikian rupa, aksinya itu terlihat begitu seksi dimataku,
terutama disaat matanya yg terus menatapku sambil mengulum batang
rudalku, tatapan itu begitu menggoda, dan menantang, tak tahan aku
melihatnya, seraya kutarik kepalanya hingga wajahnya mendekati
kewajahku, kulumat mulutnya yg masih belepotan oleh air liurnya sendiri,
dengan rakus kami saling berpagutan, kurasakan lidahnya bermain didalam
mulutku, lidah itu mulai menggelitik-gelitik rongga mulutku dan
lidahku, air liurnya kurasakan menetes dalam mulutku yg kuhirup dengan
rakus, kutelan. Puas kami berciuman, kubuka daster tipis lilis yg masih
membaluti tubuhnya, tampaklah tubuh yg sebelumnya terbalut oleh daster
itu, tubuh yg putih, mulus nyaris tanpa noda, kuraba mulai dari leher,
bahu, lalu punggungnya, kurasakan kulitnya begitu lembut dan halus,
kontras sekali dengan telapak tangannya yg kasar. Kini pandanganku
tertuju pada buah dada yg masih terbungkus oleh kutang, buah dada yg
indah walaupun hanya kulihat belahannya saja dari atas, tak sabar aku
untuk melihat secara keseluruhan, kubuka kawat pengaitnya sambil lilis
membantu membukakannya, dan kali ini terpampanglah didepan mataku buah
dada yg indah dan lumayan besar, walaupun tidak terlalu besar,namun
bentuknya itu sangat proporsional, bulat dan padat, dengan putingnya yg
agak berwarna merah jambu. Sebelumnya sejak perjalanan dari Jakarta aku
membayangkan bahwa wanita-wanita yg ada didesa ini paling-paling
berkulit agak hitam, busik, dan mata kaki agak bersisik, khas tipikal
penduduk desa yg pernah aku kunjungi dulu waktu aku kemping didaerah
pedalaman jawa barat saat masih SMA, tapi aku berpikir, ah, enggak
apa-apa lah, yg pentingkan barangnya masih orisinil dan masih belum
banyak dimasuki oleh batang- batang kontol, itu pertimbanganku
sebelumnya, namun kenyataan yg aku dapati disini sungguh diluar
dugaanku, bahkan kulitnya jauh lebih bersih dan lembut dari
pelacur-pelacur Jakarta yg sering aku ajak kencan, bahkan kalau aku
membanding-bandingkan tidak kalah juga dengan artis-artis ibu kota,
kecuali telapak tangannya. Dengan gemas kuremas payu dara itu dengan
kedu tanganku, tentu saja masih belum puas, seraya kukulum putting
susunya, ku emut dengan rakus, kulihat lilis memejamkan matanya
menikmati aksi yg aku lakukan, dari mulutnya terdengar desahan yg
lembut, puas mengulum putting yg sebelah kiri, kuberalih menikmati
putting susu yg sebelah kanan, reaksi lilis semakin menjadi, kali ini
tangannya merangkul kepalaku, seolah-olah tak ingin kalau aku menyudahi
kulumanku pada putting susunya.
“ Zzzzzzzzz…aaaaahhhh… maaasss,
terus mas..enak mas, aaahhhhh…” gumam lilis pelan, seolah hanya
berbicara pada dirinya sendiri. Sekitar lima menit aku menikmati putting
susu wanita desa itu, lalu kulepaskan pagutanku dari buah dadanya
kukecup bibirnya dengan lembut, dan kubisikan ditelinganya. “ Lis,
dibuka celana dalamnya ya..? mas, mau jilatin memek kamu..” bisikku
dengan lembut “ Emang mas hendi enggak jijik jilatin memek lilis..”
jawab lilis, agak kaget sepertinya mendengar ucapanku. “ Enggak dong
sayang… kamu saja enggak jijik ngisep kontol mas, iya kan? “ujarku “
Tapi lilis belum pernah mas, dulu laki lilis enggak pernah jilatin memek
lilis, tapi kalau minta kontolnya diisep sih sering..” ujarnya “ Itu
artinya suami lilis dulu enggak sayang sama lilis..” jawabku “ Iya kali,
emang orangnya maunya enaknya doang.. tapi memangnya mas hendi sayang
sama lilis..? “ Tanya lilis “ Tentu dong, mas sayang sama lilis, bodoh
sekali laki-laki yg enggak sayang sama cewek secantik lilis “ jawabku,
sedikit gombal tentunya, atau banyak gombal barangkali he..he..he.. “
Aaahh.. mas hendi bohong..” jawabnya manja, seraya mencubit pahaku,
walaupun demikian kulihat wajahnya bersemu merah, seolah perkataanku itu
membuatnya begitu tersanjung, tak sia-sia rayuan gombalku, pikirku.
Dengan perlahan kulepas celana dalam yg masih membungkus
selangkangannya, dan terpampanglah vagina lilis didepan mataku, memek yg
indah, dengan bibir vagina yg tidak terlalu tebal berwarna agak
kemerahan, bulu-bulu halus menghiasi bagian atasnya, jembutnya belum
terlalu lebat pikirku, usia memang tidak bisa dibohongi, walaupun lilis
sudah janda tapi usianya masih tergelong ABG, sehingga organ intimnyapun
sebagaimana anak anak ABG, masih terlihat imut, seimut wajahnya. “
lilis berbaring aja ya..? biar mas gampang jilat memek lilis..” ujarku
lembut yg langsung dituruti lilis dengan membaringkan tubuhnya
diranjang, lalu kedua kakinya kurentangkan, dan, wooww sampai menelan
ludah aku saat menyaksikan memek lilis yg terbuka memperlihatkan
“jeroan”nya, betapa lubang memek itu berwarna merah jambu dengan
klitorisnya yg mungil, tak kuasa aku memandangnya untuk berlama-lama,
kudekatkan wajahku pada lubang memek yg terbuka lebar itu, kulirik
sejenak kewajah lilis, kulihat lilis menatapku, sepertinya dia masih
menantikan apa yg selanjutnya akan aku perbuat. Kusibak memek itu dengan
dua tanganku, sehingga bertambah lebar terbuka, kuhirup sesaat
aromanya, tercium aroma yg khas yg makin membangkitkan birahiku,
kujulurkan lidahku dan mulai menjilati sekitar lubang memeknya, memek yg
mulai basah, agak sedikit asin kurasakan, kudengar ada lenguhan
tertahan dari mulut lilis, kulirik sejenak, kali ini matanya kulihat
terpejam, dan mulutnya sedikit menganga, dari reaksinya sepertinya
memang betul seperti apa yg dikatakannya bahwa dia memang belum pernah
merasakan memeknya dioral oleh mantan suaminya dulu.
“
Zzzzz…aaahhhhh.. enak banget masssss, aduuuuhhhh…” gumam lilis, sambil
tangannya meremas-remas rambutku, sepertinya lilis begitu menikmati aksi
yg kuberikan. Setelah puas kujilati lubang vaginanya hingga
kedinding-dinding bagian dalamnya, kini kualihkan jilatanku pada
klitorisnya, sesekali kuemut “kacang” itu dengan lembut. “ Aaaaaahhhhh..
enak betuuulll, itil aing dijilatin…uuuhhhhh..” gumamnya, memeknya
kurasakan semakin basah, bertanda birahinya semakin memuncak. Beberapa
saat kemudian kuhentikan jilatanku pada memek lilis, seraya kuarahkan
batang kontolku pada lubang memeknya, dengan bantuan tanganku kubimbing
agar ujung kontolku tepat kearah yg kuinginkan, yaitu lubang
senggamanya, setelah kurasakan pas, bless..kutekan dengan perlahan,
licinnya cairan memek lilis mempermudah batang kontolku menembus lubang
memeknya, kulihat desahan lembut lilis bersamaan dengan proses masuknya
batang kontolku untuk yg pertama kalinya. Mulai kupompakan pantatku maju
mundur, sambil kedua tanganku memegang kedua pahanya, jelas kurasakan
perbedaannya memek perempuan desa ini dengan pelacur2 yg sering kupakai
dijakarta, memek lilis kurasakan lebih sempit, batang kontolku serasa
dijepit oleh sesuatu, hingga kurasakan begitu nikmat, legit. “
Aaaaahhhh… terus mas, terus… entot memek lilis mas…uuuuuhhhhh… ” racau
lilis, sambil kedua tangannya memegang bokongku, semakin bersemangat aku
memompakan batang kontolku dalam memeknya. “ Aaahh… Enak kan lis?,
kontol aku enak kan lis? Gimana rasanya dibandingkan dengan kontol
mantan suamimu dulu lis…uuuhhh ” ocehku “ Aaaaahhh…jauh mas, jauh…
kontol mantan laki saya sih kecil, mana enggak enak lagi.. aaahhh..”
jawab lilis, semakin besar kepala aku dibuatnya oleh jawaban lilis itu,
hingga ku lumat bibirnya dengan rakus, sehingga menghentikan racauan
dari mulutnya. Beberapa menit telah berlalu, semakin gencar batang
kontolku berpenetrasi didalam lubang memek lilis, kurasakan birahi lilis
semakin tinggi dengan memeknya yg semakin basah, nafasnya yg memburu,
dan dari mulutnya semakin bising keluar ocehan-ocehan yg tak begitu
jelas artinya karna menggunakan bahasa sunda. Hingga akhirnya tubuhnya
seperti kejang dan dipeluknya punggungku dengan erat, nyaris kuku-kuku
jarinya melukai punggungku akibat cengkramannya yg cukup kuat, dari
mulutnya keluar raungan yg panjang.
“
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh hhhhh…..” hanya itu yg keluar dari mulut
lilis, untuk kemudian cengkramannya mulai mengendor, hingga akhirnya
terlepas sama sekali, kini tubuhnya hanya telentang pasrah mengikuti
ayunan pantatku yg semakin gencar, dari wajahnya yg berkeringat dan
tampak lemas, terbersit senyum dibibirnya, senyum kepuasan. Aku masih
memompakan batang kontolku didalam memeknya yg sudah demikian basah oleh
air mani lilis, sehingga terdengar suaranya sedemikian ramai
jrroottt..jrroo tt..jrroottt… mengingatkan aku pada suara sepatuku yg
basah sehabis menyebrang sungai tadi, yg setelah aku pakai berjalan
menimbulkan suara bising seperti ini. Hingga beberapa menit kemudian
kucabut batang kontolku dari lubang memeknya, kubaringkan tubuhku
telentang, dan kusuruh lilis untuk jongkok diatasku dengan posisi woman
in top (WOT). Digenggamnya batang kontolku yg berdiri mengacung, sambil
berjongkok dituntunnya kearah lubang memeknya, dan setelah dirasakannya
tepat pada sasaran, diturunkan pantatnya bless.. masuklah batang
kontolku didalam memeknya dengan tandas, seraya mulai digerakannya
pantatnya naik turun secara berirama. kurasakan betapa nikmatnya batang
kontolku dikocok-kocok oleh memek lilis dengan berjongkok seperti itu,
aku hanya diam pasif, kali ini lilis lah yg sepenuhnya memegang kendali
permainan, sementara sambil berbaring telentang aku hanya menyaksikan
bagaimana lilis dengan tenaga penuh menaik turunkun pantatnya dengan
kedua telapak tangannya yg bertumpu pada dadaku, buah dadanya ikut
bergerak-gerak seirama dengan gerakan naik turun tubuhnya, dan keringat
semakin membasahi sekujur badannya, sehingga tampak licin berkilat,
beberapa tetes keringat dari lehernya jatuh menetes didada dan wajahku,
bahkan satu dua tetes ada yg masuk kemulutku, asin kurasakan, namun
tetap kutelan. sesekali rambutnya yg terurai menutupi wajahnya
disibakannya sambil terus memompa. Setelah mengalami klimaks yg pertama
tadi, sepertinya gairah lilis kembali bangkit, itu dapat kulihat dan
kurasakan dari ekspresinya dan nafasnya yg memburu. Dengan tubuh yg
berkilat oleh keringat dan rambut yg mulai basah serta nafas yg memburu,
bagiku lilis terlihat begitu eksotis, tampak lebih menarik dia, hingga
mengantarkan diriku semakin mendekati pada puncak kenikmatan, pantatku
mulai kunaikan keatas mengimbangi kocokan lilis, dan akhirnya sampai
juga klimaks yg pertama kurasakan bersamaan dengan lenguhan panjang yg
keluar dari mulutku, kudekap tubuh lilis dengan kuat, hingga tubuhnya
kini telungkup diatasku, kukecup dengan rakus bibirnya, kini pantat
lilis tidak lagi bergerak maju mundur, berganti pantatku yg kali ini yg
turun naik menghantamkan batang kontolku didalam memek lilis, cukup
banyak kurasakan semprotan sepermaku didalam rahim lilis, hingga
beberapa detik kemudian aku terdiam terkapar pertanda tuntas sudah
hajatku untuk yg pertama dengan lilis. Disaat aku terdiam dan tak
bereaksi, lilis bangkit dari posisi telungkupnya, kini ia kembali
jongkok dan digoyangkan pantatnya naik turun, tak sampai satu menit
dihentikan goyangannya dikarnakan batang kontolku sudah tak lagi tegak
seperti tadi, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan penetrasi,
lilis hanya tersenyum sambil mencabut batang kontolku yg sudah lemas dan
mulai mengecil, namun dari senyumnya itu aku dapat melihat adanya
kekecewaan, yg tentu saja dikarnakan hasratnya yg mulai kembali bangkit
ternyata harus terhenti sampai disitu, namun sepertinya lilis segera
memahami posisinya sebagai “pelayan”, sedangkan aku sebagai klien, dan
tugas seorang pelayan adalah memberi kepuasan kepada klien, bukan
sebaliknya.
“ Maaf ya lis.. kamu masih kepingin ya? “ ujarku,
sambil mengecup kening lilis yg saat itu berbaring disampingku sambil
memeluk dan menyandarkan kepalanya didadaku. “ Ah enggak apa-apa mas,
kan lilis tadi udah duluan..” ujarnya, seraya kubelai rambutnya yg telah
basah oleh keringat. Untuk beberapa saat lilis memeluk tubuhku dengan
tangan kirinya dan kepalanya menyandar dengan manja didadaku, dan dengan
tubuh kami yg masih bugil, sebelum akhirnya aku dengar suara seorang
wanita dari luar kamar yg menyudahi kemesraan kami. “ Lis, masnya diajak
makan dulu… sudah hampir jam satu..” ujar suara dari luar kamar “ Iya
mih.. tunggu sebentar..” teriak lilis. Akhirnya kami keluar dari kamar,
aku hanya mengenakan celana pendek dengan t-shirt. lilis mengajakku ke
sebuah balai-balai bambu dengan ukuran sekitar 2×2 meter, tampak
diatasnya hidangan makan siang telah siap, dengan nasi didalam bakul
bambu yg masih mengepul asapnya, daun singkong rebus didalam piring
kaleng, sambal yg masih didalam cobek batu, dan dipiring yg lain aku
lihat beberapa potong ikan lele goreng. Hidangan sederhana yg sangat
membangkitkan selera pikirku, tak sabar aku untuk mengisi perut
keroncongan ini, setelah berasik masuk dengan lilis tadi memang cukup
menguras tenaga, yg sudah pasti berdampak pada perut ini yg minta diisi.
“ Ayo mas, silahkan dimakan.. ya beginilah makanan dikampung,
seadanya.. maaf kalau cocok, adanya cuma ini.. ” ujar lilis, seraya
duduk lesehan diatas dipan, yg segera aku mengikutinya. “ Wah, ini sih
luar biasa lis, mantap…” ujarku Belum sempat kami menuangkan nasi
kedalam piring, datang seorang wanita yg usianya kutaksir tak lebih dari
37 tahun, wanita yg cantik, pikirku, kulitnya putih seperti kulit
lilis, dengan hidung juga mancung, rambutnya diikat keatas menggunakan
penjepit rambut, sehingga memperlihatkan leher dan tengkuknya yg putih
mulus, tubuhnya sedikit lebih gemuk dan padat dibandingkan dengan lilis,
daster tanpa lengan yg membalut tubuhnya memperlihatkan lengannya yg
agak berotot, lekukan tubuhnya bak gitar spanyol dengan bokong yg padat
berisi. “ Ini lalapannya..baru dipetik dari kebun “ ujar wanita itu,
sambil meletakan sebaskom daun-daunan segar yg belum dimasak, entah daun
apa itu akupun tak terlalu paham. Merasa baru pertama kalinya aku
bertemu wanita ini, dan seperti biasa untuk sekedar beramah tamah aku
menjulurkan tanganku untuk bersalaman. “ Hendi…” ujarku, memperkenalkan
diri. “ Komariah.. biasa dipanggil kokom..” ujarnya “ Mbak kokom,
kakaknya lilis?” tanyaku, sekedar ingin tau.
Mendengar
pertanyaanku itu wanita yg bernama kokom ini hanya tersipu, dan wajahnya
yg berkulit putih itu tampak sedikit kemerahan, lalu tumpahlah tawa
dari mulutnya, sehingga memperlihatkan deretan gigi putihnya yg berjejer
dengan rapi, karuan membuat aku celingukan kebingungan karna tak
mengerti dengan sikap mbak kokom ini, sebelum akhirnya lilis nyeletuk. “
Itu kan mamih, ibu lilis, yg tadi diluar mecahin batu, kan mas hendi
sudah liat atuh…” ujar lilis, juga sambil tertawa. “ Astaga.. maaf bu,
maaf.. saya enggak tau.. habis tadi waktu diluar wajah ibu tertutup
pakai kain, jadi saya enggak ngenalin..” ujarku meminta maaf. “
Ah..enggak apa-apa mas, mamih malah GR tuh, hi..hi..hi..” celetuk lilis,
yg langsung dicubitnya lengan lilis oleh ibunya itu. Jadi rupanya ini
wanita pemecah batu tadi, yang oleh lilis biasa dipanggilnya mamih,
seperti sebagian besar warga desa itu dalam menyebut ibunya, aku pernah
menyebutnya mami, namun oleh lilis diralat, menurutnya bukan mami,
tetapi mamih, pakai “h”, aku hanya tersenyum, apa bedanya, kubilang,
tapi malah dia bilang begini “beda dong mas, kalau mami itu kan untuk
orang-orang kaya, seperti papi,mami gitu, kalau mamih, itu sebutan ibu
untuk orang sini..” begitu menurutnya, ah, terserahlah, pikirku, apa
pentingnya. Benar-benar tak kusangka si mamih ini, wanita secantik ini
melakukan pekerjaan kasar yg sepantasnya dilakukan oleh seorang pria,
yah, itulah keadaan, yg membuat dia memang harus melakukan pekerjaan
seperti itu, demi untuk menyambung hidupnya, benar-benar wanita yg
perkasa, pikirku. Secara pisik, kokom tak kalah bila dibandingkan dengan
istri-istri pejabatan dan pengusaha kaya dijakarta, hanya nasiblah yg
membedakan, dan kokom hanyalah istri seorang mantan kuli bangunan yg
sekarang nyaris lumpuh karna kecelakaan kerja yg dialaminya, kokom
termasuk seorang istri yg setia yg tetap mendampingi suaminya itu,
walaupun bisa saja dia mencari laki- laki lain yg lebih mapan, toh
penampilan kokom masih sangat mendukung untuk itu.
Akhirnya kami
menikmati makan siang, sementara kokom meninggalkan aku berdua dengan
lilis, nikmat sekali makanan yg disediakan oleh kokom ini, walaupun
hanyalah hidangan sederhana, namun begitu pas dilidah ini, mungkin karna
semua hidangan ini memang masih segar dan dihasilkan dari proses
pertumbuhan yg berlangsung secara alami, seperti nasi yg kumakan ini
dihasilkan langsung dari persawahan disekitar sini dengan sistim
pertanian yg alami, bukan dengan teknologi kimiawi dengan maksud agar
pertumbuhan menjadi lebih cepat, sehingga mengabaikan kualitas dan rasa
dari nasi itu sendiri, dan masaknyapun dengan cara diliwet, bukan dengan
rice-cooker listrik, begitupun dengan daun-daunan ini begitu segar dan
cocok sebagai teman sambal, lalu ikan goreng ini, yg pasti baru saja
diambil dari kolam belakang rumah, rasanya pun begitu pas dilidah,
berbeda dengan ikan goreng yg sering aku makan dirumah makan, yg rasa
bumbunya begitu mendominasi, sehingga justru menghilangkan cita rasa
ikannya sendiri. Yah, memang disini semuanya terasa alami, begitu
organic dan natural, begitu pula dengan lilis yg telah aku buktikan
sendiri tadi, begitu organic dan natural, ah, keterlaluan sekali aku,
menyamakan lilis dengan makanan. Sementara diluar mulai terdengar lagi
suara ketukan palu yg menghantam batu, rupanya kokom telah kembali
dengan tugas rutinnya. Setelah menghabiskan 2 piring nasi dengan 2
potong ikan goreng, akupun duduk diteras rumah sambil menikmati sebatang
rokok ditemani lilis. Tiba-tiba ponselku berbunyi, rupanya herman
menelponku. “ Gimana bro..cocok enggak? “ Tanya herman, dari ponselku “
Yah, boleh lah..” jawabku santai, sambil melirik lilis yg sedang menyapu
lantai teras “ Boleh apa boleh? “ Tanya herman lagi, sedikit menggoda “
He..he..he.. mantaaaaaappp… tau aja lu ada tempat asik disini..”
jawabku, kali ini setengah berbisik “ Ya tau dong…, herman gitu
looohhh…,ha..ha..ha.. oke deh selamat bersenang-senang bro..” ujar
herman, seraya menutup pembicaraan. Smartphone yg masih dalam
genggamanku tak langsung kuletakan, kukotak-katik sejenak untuk membuka
jaringan internet, sial, ternyata jaringan internet didesa ini kurang
bagus sinyalnya, lalu kulihat lilis yg masih menyapu, dengan iseng
kurekam dengan ponselku, agak salah tingkah lilis melihat apa yg
kuperbuat.
Beberapa saat kemudian kusudahi merekam lilis dengan
adegan menyapunya, kulihat hasilnya sambil sesekali tersenyum, rupanya
lilis penasaran dan menghampiri aku untuk menyaksikan hasil rekamannya,
setelah tayangan video lilis selesai, lilis memintanya untuk diputar
lagi dari awal. Aku turuti permintaannya, kelihatannya dia sangat
tertarik dengan rekaman dirinya itu, kucari file video yg dimaksud,
tetapi ternyata aku salah memutar file video, dan justru file video
porno yg kusimpan di ponselku yg kuputar, lilis sempat melihat, dan
dengan cepat aku matikan, dan setelah kudapatkan file video yg
diinginkan aku tekan tombol play, kembali layar monitor ponselku
menayangkan rekaman video lilis yg sedang menyapu, yg langsung
kuserahkan pada lilis. “ Mas, coba video yg tadi diputer dong..! “ pinta
lilis, setelah selesai menyaksikan tayangan video dirinya yg sedang
menyapu. “ Video yg mana..? tanyaku “ Itu, yg tadi, video orang lagi
gituan..” ujar lilis, mengertilah kini aku, apa yg dia maksud, seraya
aku kutak-katik sebentar ponselku dan kuputar file video porno, lalu
kuserahkan ponselku pada lilis Dengan serius lilis menyaksikan tayangan
video yg berdurasi cukup panjang itu, giliran aku yg bengong sendiri
sambil menikmati rokok sampurna A-mild kegemaranku. Ah, biar saja lah..,
pikirku, sukur-sukur dia terobsesi dengan adegan-adegan divideo
tersebut, dan minta untuk direalisasikannya denganku nanti, sehingga
akan lebih inovatif dan variatif he..he..he.. “ Emang belum pernah
nonton film gituan lis..? “ tanyaku, yg hanya dijawab dengan gelengan
kepala oleh lilis, sambil pandangannya tetap tertuju pada layar monitor
ponsel, kampret.., pikirku. Dengan meninggalkan lilis yg masih sibuk
dengan “mainan barunya”, aku berkeliling sendiri disekitar halaman rumah
yg cukup luas itu. Setelah kuperhatikan ternyata jarak antara rumah yg
satu dengan rumah lainnya didesa ini cukup jauh, sekitar 100 meter baru
terlihat rumah tetangga. Lalu aku menuju kebelakang rumah, dan dengan
melalui jalan yg agak menurun, aku menuju kekolam ikan ayah lilis,
disana ayah lilis masih sibuk dengan ikan- ikan peliharaannya, entah apa
yg dilakukannya, kuhampiri laki-laki kurus setengah baya itu, dengan
terlebih dulu kutawarkan rokok, maksudnya untuk mengakrabkan diri. yg
akhirnya cukup lama aku terlibat perbincangan dengannya, tentang
ikan-ikan peliharaannya ini, termasuk proses pemeliharaan, pembibitan
dan juga pemasarannya, lengkap dengan harga dan keuntungannya, sampai
obrolan tentang desa ini dengan segala kehidupannya, bahkan tentang
kehidupan pribadinya yg ternyata dulu pernah bekerja dibeberapa proyek
dijakarta sebagai buruh kontrak. dan dari ceritanya pula aku ketahui
bahwa ternyata lilis masih mempunyai seorang kakak laki-laki berusia 20
tahun yg bekerja dijakarta sebagai buruh bangunan. Ayah lilis ini, yg
kuketahui bernama kosasih, atau biasa dipanggil dengan pak engkos,
ternyata sosok yg enak untuk diajak ngobrol, perkataannya polos dan apa
adanya, sepertinya tak ada yg ditutup-tutupi.
Setelah beberapa
lama aku berbincang-bincang dengan pak engkos, akhirnya akupun kembali
kerumah bermaksud menemui lilis. dari arah teras aku dengar suara tawa
seorang wanita, yg ternyata adalah suara kokom, ibu lilis, sedang
nimbrung duduk disamping lilis untuk turut menyaksikan video porno dari
ponselku, kuintip sejenak sebelum aku menghampiri mereka, kulihat kokom
yg duduk disamping lilis sambil tangan kanannya menggelendot pada pundak
putrinya itu, begitu berbinar kokom menyaksikan video itu, sepertinya
baru kali ini dia menyaksikan tayangan begituan, sesekali keluar
komentar dari mulutnya, kemudian diselingi dengan tertawa, namun begitu
melihat kehadiranku, kokom langsung berdiri salah tingkah dan segera
meninggalkan lilis yg juga masih asik dengan tontonannya. “ Filmnya ada
banyak ya mas? “ Tanya lilis, yg ternyata telah “diobok- oboknya”
video-video simpananku didlm memory card ponsell, pantas belum selesai
satu film yg tadi, ternyata dia memainkan file video yg lainnya, yg
memang banyak tersimpan disitu. “ Yah, buat iseng-iseng aja..,
ngomong-ngomong ibu kamu suka juga ya nonton film gituan?” Tanya ku. “
Bukan suka lagi, tapi getol.. hi..hi..hi..” jawab lilis “ Umur ibumu itu
berapa sih lis? Koq keliatannya masih muda sekali..” Tanyaku “ 37
tahun, iya, dulu waktu umur 14 tahun mamih sudah menikah, tapi kalau
abah umurnya lebih tua 10 tahun dari mamih..” ujar lilis, pantaslah
pikirku, sudah kukira usia kokom memang tak lebih dari 37 tahun. “ Ibu
kamu masih cantik ya kom, tadinya aku kira kakak kamu..” ujarku “ Emang
kalau cantik kenapa..? naksir ? “ ujarnya, dengan perhatiannya masih
tertuju pada ponselku. “ Ah, enggak koq..” jawabku, agak gugup “ Kalau
naksir, nanti lilis bilangin..” ujarnya, kali ini sambil menatapku,
kaget juga aku mendengarnya, dan sepertinya apa yg dikatakannya itu
serius, dalam artian bukan sekedar gurauan atau sindiran. “ Ah, jangan
lis, malu aku.. ada-ada saja kamu..” ujarku gugup, dan aku masih belum
mengerti apa yg dimaksudnya, namun aku mencoba menyimpulkan bahwa maksud
lilis adalah menawarkan padaku kalau aku tertarik dengan ibunya, aku
bisa saja tidur dengan ibunya itu, namun dengan konsekuensi harus
membayar juga tentunya, namun itu hanyalah dugaanku saja, aku masih
penasaran, sebetulnya apa yg dimaksud lilis ini, karna aku tidak yakin
kalau kokom bisa diajak tidur, sedangkan kokom bukanlah seorang janda
seperti lilis, dan dia masih memiliki seorang suami yg juga tinggal
dirumah itu, apa mungkin aku tidur dengan sorang wanita bersuami
sementara sang suami ada dirumah itu dan dengan sepengetahuannya, ah,
gila.. gak mungkin lah.. atau mungkin aku salah tanggap, pikirku.
Aku
nyalakan sebatang rokok, kuhisap dalam-dalam. Dan kali ini lilis
merapatkan tubuhnya padaku, kali ini tayangan video dari ponselku sudah
dimatikan. “ Mas marah ya..? dengan ucapan lilis tadi “ ujar lilis,
sambil menyandarkan kepalanya dipundakku, rupanya lilis mengira kalau
aku tersinggung dengan ucapannya barusan, mungkin dikarnakan aku terdiam
setelah itu, padahal diamku itu adalah karna masih berpikir dan
menduga-duga didalam hati tentang apa maksud ucapannya barusan tadi. “
Ah enggak koq, emangnya marah kenapa? “ jawabku “ Habis, mas hendi koq
diam sih..? “ “ Ah enggak, cuma bingung aja..” “ Bingung kenapa mas..? “
“ Tentang ucapan kamu itu, yg barusan kamu omongin itu lho? “ “ Oh,
tentang mamih.. lilis enggak ada maksud apa-apa koq mas, lilis cuma mau
bilang, kalau mas hendi tertarik sama mamih, mas hendi juga bisa tidur
dengannya, seperti mas hendi tidur sama lilis tadi, tapi mas hendi mesti
ngasih uang belanja sama mamih, itu sih terserah mas hendi, jangan
marah ya mas..” jelas lilis, agak kaget aku mendengarnya, namun aku
mencoba bersikap wajar sambil menghisap rokok ditanganku, fantasiku
mulai menari-nari, menarikan khayal tentang ibu dan anak yg cantik dan
seksi ini untuk kusetubuhi secara bersamaan. Namun fantasiku kembali
buyar, karna ada sesuatu yg menurutku masih mengganjal. “ Tapi bagaimana
dengan bapakmu lis.. bisa-bisa dijadikannya umpan ikan aku nanti, kalau
dia tau aku tidur dengan istrinya..” ujarku, namun kekawatiranku yg
kuutarakan pada lilis itu sebetulnya bukanlah perasaanku sesungguhnya,
akupun dapat menganalisa, lilis menawarkan aku untuk tidur dengan ibunya
tentu sudah dengan mempertimbangkan berbagai factor, termasuk reaksi
ayahnya itu, pastinya dia sadar bahwa ayahnya juga dapat mentolerir
semuanya itu, kalau tidak mana mungkin dia berani menawarkan itu. namun
aku tetap membutuhkan kepastian. “ Ah, itu sih beres.., mas enggak usah
kawatir.. abah sih enggak apa-apa, lagian semenjak abah mengalami
kecelakaan dulu, “anu” abah sudah enggak bisa berfungsi lagi, jadi abah
enggak akan ambil pusing, malah abah akan senang kalau mamih juga bisa
senang hi..hi..hi..” Lega aku mendengar penjelasan lilis itu, jadi
intinya pak engkos bukanlah suatu rintangan. “ Terus, apa kira-kira
mamih mau enggak ya, kalau…” belum selesai omonganku itu, tiba-tiba
lilis berteriak memanggil kokom yg sedang melakukan pekerjaan rutinnya,
memecah batu. “ Miiiihhhh… sini sebentar mih..” teriak lilis, yg
dipanggil segera menghentikan kegiatannya, melepaskan kain jarik lusuh
yg menutup wajahnya, lalu melangkah menuju kearah kami. “ Ada apa lis..?
“ Tanya kokom, sambil mengelap keringat diwajah dan lehernya dengan
kain yg sebelumnya digunakan untuk penutup wajah dan kepalanya itu. “
Begini mih, ini mas hendi naksir sama mamih, mamih mau enggak nemenin
tidur mas hendi? Nanti dikasih uang belanja mih..” Tanya lilis, yg
ditanya agak salah tingkah, wajahnya yg putih berubah sedikit memerah,
lalu tertunduk dan tersenyum malu. Dari reaksi kokom itu aku sudah dapat
menerka apa yg ada didalam hatinya, ya, sepertinya kokom memang mau
tidur denganku, sebagaimana yg dilakukan anaknya denganku. “ Yah, mamih
sih terserah mas hendi saja, kalau mas hendi suka, saya sih setuju aja..
tapi mamih udah enggak muda lagi, udah enggak seperti lilis..” ujar
kokom, sambil tertunduk dengan agak malu-malu, sambil tangannya
meremas-remas kain jarik yg dipegangnya. “ Ah, enggak koq mih, mamih
masih cantik.. sukurlah kalau mamih mau ..he..he..he..” ujarku, disertai
tawa cengengesan, karna merasa bagaikan mendapatkan durian runtuh. “
Udah mih, sana mandi dulu.. dandan yg cantik, biar mas hendi semakin
kesemsem hi..hi..hi..” ujar lilis menggoda “ Ah, tapi mamih biar enggak
dandan udah cantik koq..” ujarku, mendengar ucapanku itu kokom semakin
merah pipinya. “ Ya udah, kalau begitu mamih mandi dulu sebentar..” ujar
kokom, yg dengan wajah sumringah segera ngeloyor kedalam rumah.
Sepeninggalan kokom, lilis mendekati aku, seraya dengan setengah
berbisik berkata. “ Mas, nanti kita main bertiga sama mamih ya..!
seperti yang difilm tadi hi..hi..hi..” gayung bersambut, pikirku. Memang
sebelumnya aku membayangkan seandainya bisa threesome dengan lilis dan
ibunya, tapi itu hanyalah sebatas hayalanku belaka, yg sebenarnya aku
tak menuntut untuk itu, tadinya aku berpikir disaat kokom sedang
melayaniku, paling-paling lilis keluar, dan begitupun sebaliknya. Dan
itu pun bagiku sudah cukup, paling tidak aku bisa merasakan kenikmatan
dari ibu dan anak ini, tapi setelah apa yg dikatakan lilis yg katanya
ingin “main” bertiga dengan ibunya, sampai bergetar aku mendengarnya,
hampir tak percaya, ada untungnya juga aku mempertontonkan video porno
dari ponselku kepada lilis, seperti yg kuharapkan dia terobsesi dengan
adegan-adegan dalam film itu, semoga masih lebih banyak lagi adegan-
adegan lainnya difilm itu yg membuatnya terobsesi, dan ingin
diwujudkannya nanti diranjang, ya, semoga. dan otak mesumku mulai
menari-nari lagi.
Kini aku dan lilis telah kembali berada dikamar,
dengan bernafsu lilis langsung menyosor, dikecupnya mulutku dengan
penuh nafsu sambil tangannya mendorong tubuhku, hingga tubuh kami
terbanting keatas ranjang dengan cukup keras, dilepasnya t-shirtku, lalu
dasternya hingga menyisakan celana dalamnya, karna memang sebelumnya
lilis sudah tak mengenakan bh. END
Comments
Post a Comment